Rabu, 29 Mei 2013

Jelitanya Bromo dalam Lensa Mataku


Malam itu seolah menjadi hajatan mewah bagiku. Mata masih saja terjaga padahal waktu sudah menunjukkan pukul 01:30 WIB dini hari. Mungkin ini adalah efek hormon kebahagiaan karena seharian sebelumnya aku bersama teman kantorku dan beberapa temannya yang sedang menuntut ilmu di Universitas Brawijaya disuguhi pemandangan oseania yang anggun. Pulau Sempu dengan Segara Anakan yang orang bilang seperti Phi Phi Island-nya Indonesia berhasil menyumbangkan setetes senyawa serotonin yang membawa kebahagiaan seperti memakan sebongkah coklat.

Namun, bagiku itu bukan klimaks dari liburanku ke Malang. Wajar saja sebagai seorang yang lebih menyukai hutan dan gunung, aku lebih menantikan malam ini. Jarum pendek dan jarum panjang sudah memberikan kombinasi yang tepat untuk berangkat meninggalkan kota Malang. Langit hitam memayungi kota yang sudah sangat sepi, hanya beberapa titik saja yang masih menunjukkan aktivitasnya. Bersama 3 orang teman, kami melesat menuju pos penyewaan Jeep (Hardtop) Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, untuk kemudian mengantarkan kami menuju Pananjakan (titik yang menjadi primadona ribuan wisatawan berebut memasang lensa matanya demi sebuah matahari terbit).

Sekitar pukul 03:30 WIB kami sampai di pos penyewaan Jeep. Udara dingin berebut menyambut kami selepas turun dari mobil. Dari kami berempat, hanya aku dan teman kantorku saja yang akan ke Pananjakan, sisanya menunggu di mobil untuk beristirahat karena mereka memang belum sempat tidur kemarin. Akhirnya kami memutuskan untuk join menyewa Jeep supaya biayanya lebih murah. Untungnya ada 4 orang mahasiswa asal Surabaya yang akhirnya mau bergabung dengan kami berdua. Akhirnya lengkap sudah 6 orang dalam 1 Jeep menuju sepaket titik yang kami sewa, yaitu Pananjakan – Pasir Berbisik – Kawah Gunung Bromo. Yes!

Pananjakan sudah seperti pasar malam yang dipenuhi oleh ribuan wisatawan yang juga memasang lensa matanya untuk menyaksikan kejelitaan Bromo pagi hari. Kami mencari titik terbaik untuk bisa melihat jingga pertama hari itu. Ya, semua lensa mata yang hadir saat itu menantikan detik demi detik perubahan yang terjadi di angkasa. Mulai dari pekatnya hitam ditaburi bintang, sedikit jingga bercampur biru gelap, dan mulai terlihat setitik jingga besar yang bersorot gagah. Indah! Perubahan gradasi warna inilah yang mengundang jepretan kamera terdengar dari setiap celah. Dan memang benar apa kata orang, Pananjakan Gunung Bromo merupakan salah satu tempat terbaik di dunia untuk melihat matahari terbit. Dari atas sini kami pun bisa melihat jelas serentetan gunung yang berada dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, yaitu Gunung Bromo, Gunung Batok dan Gunung Semeru. Setelah puas berfoto-foto, akhirnya perjalanan kami teruskan menuju Pasir Berbisik.



Rute menurun kami lewati dengan medan yang agak ekstrim. Jalan berkerikil dan debu yang membumbung menemani perjalanan menuju tempat tersebut. Setelah melewati kaldera yang begitu luas akhirnya sampai juga kami di suatu tempat yang sempat menjadi lokasi syuting film dengan judul yang sama. “Wajar disebut Pasir Berbisik”, pikirku. Hamparan pasir yang luas tertiup hempasan angin seolah bersuara dengan nada bisikan yang mengalun hangat. Dari hamparan pasir, terlihat tebing-tebing kokoh dan juga terpancang Gunung Bromo dan Gunung Batok yang jelas terlihat. Keduanya tampak serasi mewarnai kejelitaan yang bisa dilihat di kawasan Pasir Berbisik ini. Belum lagi pemandangan Jeep lainnya yang lalu lalang datang secara periodik membawa wisatawan lain yang juga tersihir oleh keindahan Pasir Berbisik. Tentunya pemandangan seluas ini menggoda kamera untuk “klik” terus-menerus.




Matahari sudah agak meninggi. Teriknya mulai terasa di kulit. Ternyata sudah pukul 08:00 WIB. Kami memutuskan untuk putar balik menuju kawah Gunung Bromo. Turun dari Jeep, kami masih harus hiking sekitar 1 km untuk menuju kawah. Untuk sampai ke puncak sana tersedia dua pilihan yaitu dengan berjalan kaki atau menaiki kuda. Kami memilih berjalan kaki saat itu. Di perjalanan kami melewati sebuah pura Hindu yang agak tertutup dan sepi. Pura Luhur Poten namanya.

Angin yang sangat kencang membuat longmarch yang kami lakukan sedikit kurang nyaman karena hempasan debu yang membuat mata perih. Selain itu, terkadang kami harus berebut jalan sempit dengan para penunggang kuda. Saranku adalah membawa masker dan kacamata jika ingin berjalan kaki menuju kawah. Akhirnya setelah berjalan hampir 45 menit, kami tiba di puncak setelah melewati anak tangga yang tersedia ketika menjelang ke puncak. Sebetulnya tidak terlalu spesial melihat kawah Gunung Bromo. Hanya kepulan asap disertai bau belerang yang tidak terlalu menyengat dan beberapa orang yang sekedar mengabadikan foto. Namun, pemandangan dari atas aku kategorikan cukup jelita. Hamparan kaldera yang luas, ribuan orang yang naik dan turun seperti sekawanan semut, Pura Luhur Poten merupakan pemandangan tersendiri yang mengobati rasa lelah kami. Tak lama berada di atas, akhirnya kami memutuskan untuk turun dan menuju Jeep kembali.


Jeep berjuang melewati medan yang sama seperti ketika turun menuju kaldera. Dan kami diberikan kejutan tak disangka, yaitu melihat sekawanan pecinta sepeda yang berjuang melewati kaldera berpasir yang aduhai itu. “Sungguh hanya orang bermental baja saja yang mau melewati kaldera macam itu dengan bersepeda,” gumamku.


Perpaduan mesin dan pengemudi Jeep begitu gagah meninggalkan kaldera untuk kemudian kembali menuju jalan aspal dan mengantarkan kami kembali ke tempat parkir mobil. Di sini akhirnya kami berpisah dengan 4 mahasiswa asal Surabaya tersebut. Selanjutnya yang aku tahu mereka akan meneruskan perjalanan ke Malang, dan sebaliknya aku dan 3 temanku meneruskan perjalanan ke Surabaya.

Sambil menikmati perjalanan menuju Surabaya, memori Bromo masih begitu terrekam jelas dalam  panca inderaku, sambil kemudian aku bersyair:

Wahai, Bromo…
Engkau telah memenuhi lensa mataku dengan keindahan yang tak terperi
Engkau telah menyusupkan file-file sekian gigabyte dalam memori otakku
Engkau telah memaksa suara-suara alam yang ada padamu masuk ke dalam gendang telingaku
Engkau juga telah berhasil membuat hatiku terpaut padamu, untuk sekali lagi bertemu denganmu dengan perempuanku kelak. Ya, nanti, tunggu kami…

Sampai jumpa lagi, Bromo. Satu kata untukmu: Jelita!