Sabtu, 17 Oktober 2015

pangandaran juara!



Tujuh Belas Oktober…
Semoga senantiasa diberikan kesehatan, berkah dan nikmat tiada tara dari Sang Pencipta. Aamiin :)

Jika di tulisan saya sebelumnya tentang Semarang sempat mengungkit mengenai gathering, kali ini saya akan bercerita tentang gathering dengan orang-orang yang sama, tetapi ketambahan beberapa orang baru, dan tempatnya pun berbeda. Tak lagi ke Semarang, tetapi ke sebuah tempat yang tak kalah keren.

Sebuah cerita pengembaraan di minggu lalu bersama para penggiat mutu di pabrik tempat saya bekerja. Ke sebuah tempat yang menjadi salah satu tempat wisata menarik di tatar pasundan. 17 Juli 2006 lalu, tempat ini sempat diterjang keganasan tsunami dan menewaskan sekitar 400 orang yang berhasil diidentifikasi, dan 500 sisanya tidak diketahui. Ia adalah Pantai Pangandaran, Jawa Barat.

Kami 20 orang kece bermental juara, yang terdiri dari 17 pria dan 3 wanita berangkat dengan mengusung sebuah misi yang dikejewantahkan panitia dalam sebuah tema yang sangat menarik:  

Gathering QC Cibitung Juara: One Day without Gadget, To Reach Togetherness Today, Tomorrow and Forever!  

Harapannya, peserta bisa berkomitmen untuk sejenak meninggalkan keasyikan dengan gadget-nya masing-masing yang selama ini selalu melekat erat, demi merasakan arti sebuah kebersamaan bersama para penggiat mutu berlabel QC Cibitung Juara.

Apa saja yang kami lakukan dan ke mana sajakah tempat yang dijamah selama berada di sana? Sila disimak ya, kawan-kawan…

*   *   *

Kami berangkat dari pabrik di Kawasan Industri MM 2100 Cibitung, Bekasi menggunakan bus 32 seat. Agak berlebih karena sebetulnya yang berangkat dalam gathering ini hanya 20 orang. Tak mengapa, jadi leluasa berada di bus yang kekurangan muatan. Hehehe.

Pukul 22:30 kami resmi meninggalkan pabrik. Perjalanan malam ditempuh dengan melewati tol terlebih dahulu hingga Cileunyi, baru kemudian dari Cileunyi akan melewati jalan arteri yang menghubungkan kota-kota di selatan Jawa Barat, yaitu Bandung, Garut, Tasikmalaya, Ciamis dan Banjar.

Berhubung berangkat malam, dan sedari pagi hingga sore kami semua sudah lelah bekerja (bahkan sebagian menyempatkan kuliah dulu lho. Salut!), maka kami memilih untuk berdamai dengan membiarkan rasa kantuk melampiaskan jati dirinya. Rerata semua tidur ketika perjalanan baru 1-2 jam setelah sebelumnya menikmati snack malam.

(Tidur)

Singkat cerita kami sampai di lokasi meeting point dengan tour guide sebuah Event Organizer (EO) yang kami pilih. Tepatnya di Pusat Oleh-Oleh Owen sekitar pukul 07:30. Tiba di sana dan berkenalan dengan sang tour guide yang bernama Kang Asep, kami semua kemudian disambut dengan sarapan nikmat berupa nasi, mie goreng, ayam goreng, sayur asem, kerupuk dan sambal. Alhamdulillah urusan perut sudah bisa ditandai dengan checklist “done”.

aktivitas pertama di pangandaran: bertemu kang asep dan sarapan

Dari situ, kami melanjutkan perjalanan menuju destinasi pertama, yaitu Cukang Taneuh atau yang lebih dikenal dengan Green Canyon. Green Canyon terletak di Desa Kertayasa, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran. Obyek wisata mengagumkan ini sebenarnya merupakan aliran dari sungai Cijulang yang melintas menembus gua yang penuh dengan keindahan pesona stalaktit dan stalagmitnya. Selain itu daerah ini juga diapit oleh dua bukit, juga dengan banyaknya bebatuan dan rerimbunan pepohonan. Semuanya itu membentuk seperti suatu lukisan alam yang begitu unik dan begitu menantang untuk dijelajahi (rujukan colek sini)

pintu depan cukang taneuh atau green canyon

Kami tiba di Green Canyon sekitar pukul 09.00, di dermaga yang juga menjadi loket pemberangkatan sudah banyak wisatawan lain yang mengantre. Beruntung kami menggunakan EO, sehingga tanpa perlu antre, 5 orang dari kami masing-masing dijadikan 1 group dan menaiki kapal yang akan mengantarkan kami ke lokasi, untuk kemudian body rafting sampai ke Batu Payung.

kelompok dalam 1 perahu

Bersama perahu berbahan bakar solar tersebut, kami membelah sungai yang berwarna hijau toska. Mungkin karena itulah obyek wisata ini dinamakan Green Canyon. Sebagai pengagum biologi, saya menduga warna hijau ini dikarena banyak organisme dari kingdom Plantae di dasar sungai. Keindahannya menjadi berlipat ketika di sepanjang perjalanan membelah sungai tersebut, mata ini dibuat takjub disuguhi pepohonan di kanan kirinya yang menjadikan sensasi perjalanan ini seolah tengah berkelana di belantara hutan Kalimantan. Gagah!

jeprat-jepret di sepanjang sungai

Sekitar 10 menit melewati sungai dengan perahu, kami kemudian mendarat di mulut Green Canyon yang berupa tebing yang agak gelap karena tak tertembus matahari. Stalaktit dan stalagmit yang muncul di tebing-tebing tersebut membuat Green Canyon benar-benar pecah dan juara indahnya! Kami kemudian menggunakan pelampung dan bersiap untuk body rafting atau berenang menuju Batu Payung.

Jarak menuju Batu Payung sebetulnya dekat saja, hanya sekitar 100 meter. Aliran air yang kami renangi diapit oleh dua tebing setinggi 10 meter yang jika menengadah ke atas, maka tetesan dan percikan air tanah akan jatuh mengenai muka yang bagi saya sensasi ini teramat romantis dan sayang sekali dilewatkan. Damai sekali, membuat saya semakin suka dengan Biologi dan Geografi. #lho.

Sampai di Batu Payung, kami kemudian menaiki sebuah batu yang bentuknya memang mirip seperti payung terbuka. Hampir semua dari kami memutuskan untuk menaiki batu tersebut dan melompat ke dasar sungai. Sebuah pengalaman menaklukan ketakutan dalam diri. Mengapa? Karena bagi mereka yang takut, tantangan ini ternyata tidak bisa dilewati. Sayang sekali, padahal pengalaman seperti ini belum tentu bisa didapatkan di kota.

Setelah sekitar 1 jam kami dibuat asyik bermain, kami harus segera kembali. Sebetulnya jika kawan-kawan berkesempatan ke tempat ini, bisa melanjutkan perjalanan hingga ke Batu Putri dengan biaya esktra 100 ribu per pemandu. Namun, kami semua memutuskan untuk stop di Batu Payung dan dengan perahu yang sama, kami semua kembali menuju loket pemberangkatan.

Dari Green Canyon, kami kemudian bertolak ke Pantai Batu Karas. Sekitar 15 menit perjalanan. Niatnya di tempat ini kami akan memainkan game dari panitia. Namun, karena sihir air laut yang begitu mendayu-dayu, para peserta pun ogah-ogahan bermain dan akhirnya game yang baru dilaksanakan separuh jalan tersebut dibatalkan. Kami semua bersepakat untuk berenang saja di laut. Lalu saya? Mungkin karena faktor umur, saya lebih memilih untuk merenung di tepi pantai mengingat keluarga di rumah, sambil menunggui sandal dan perlengkapan teman-teman yang sedang bercumbu dengan kombinasi air, garam dan gelombang.

bermain games, santai dan makan di pantai batu karas

i love my family (sebuah judul yang agak maksa. biarin ah)

Asyik berenang dan tentunya menghabiskan tenaga yang tidak sedikit, perut sudah minta untuk diisi dengan santapan yang disediakan oleh Kang Asep and friend. Hidangan makan siang sudah disiapkan di tepi pantai, dan tanpa komando kami semua berpesta! Nasi, karedok, kangkung, cumi goreng tepung, kerupuk, sambal dan semangka sungguh berhasil menggoyang lidah, terutama karedoknya yang aduhai.

Selesai makan, kami semua mandi dan sholat. Setelah itu perjalanan berikutnya sebelum ke hotel adalah menuju Pantai Batu Hiu. Ada apakah di pantai ini?

Selama kurang lebih 20 menit perjalanan dari Batu Karas, kami sampai juga di Pantai Batu Hiu. Untuk menikmati pantai ini, kami harus menaiki anak tangga dan menyaksikannya dari atas bukit. Pemandangannya sekilas seperti Tanah Lot, Bali. Angin yang menderu, gelombang ombak pantai yang berkejaran laksana pasukan dari kerajaan Mongol, biru laut dan langit yang berpapasan di penghujung sebuah garis yang tak bisa lagi dinalar, semuanya berhasil menghipnotis mata untuk berdecak kagum, tapi tidak dengan sinar panas sang surya yang begitu menyengat. Cuaca yang teramat panas, sedikit mengganggu ritual penghayatan keindahan yang tengah dilakukan. Tapi bagaimanapun, tetap bersyukur karena semuanya adalah bentuk kasih sayang ALLAH yang begitu hebat memainkan unsur-unsur alam yang sempurna.

pantai batu hiu yang selintas mirip dengan tanah lot :)

Masih di kawasan Pantai Batu Hiu, kami diajak Kang Asep untuk melihat Penangkaran Penyu. Mulai dari bayi penyu hingga penyu manula ada di sini. Saya terkesima melihat bayi penyu yang begitu kecil dan rapuh. Nampak sekali mereka tidak berdaya jika harus berada di alam bebas. Lain halnya dengan penyu yang sudah dewasa sebesar bantal, terlihat lebih gagah dan kuat. Senang sekali berkesempatan menyaksikan salah satu anggota Reptil yang menurut saya paling “jinak” ini.

Dari penangkaran penyu, kami kemudian bertolak menuju Hotel Sandaan yang berlokasi tepat di depan Pantai Barat di bilangan Jalan Pamugaran Bulak Laut No. 100. Sebuah hotel yang konon katanya 20 tahun yang lalu sempat menjadi hotel nomor satu di daerah sini. Kami menyewa 5 kamar family room berisi masing-masing 4 orang, kecuali untuk wanita tetap hanya ber-3, imbasnya ada 1 kamar yang diisi oleh 5 orang.

Hotelnya cukup bersih, dan tak diduga ada kolam renangnya. Halamannya luas dan seringkali disinggahi pedagang keliling yang masuk bersama gerobaknya. Seperti di sebuah komplek perumahan di kala sore hari.

semua sudut di hotel sandaan

Saya yang sebetulnya kurang fit sepulang dari Batu Hiu tadi, memutuskan untuk langsung beristirahat, sementara yang lain ada yang bermain sepak bola dan ada juga sebagian panitia yang mengurus urusan administrasi. Betapa beruntungnya saya memiliki rekan-rekan yang begitu peduli, selepas sholat maghrib 3 orang rekan membantu me-maintenance seluruh badan saya. Pinggang yang memang sebelum berangkat pun sudah saya tempeli koyo berkali-kali, jemari kaki yang sempat keram ketika di Green Canyon, dan juga seluruh badan yang terasa “aus” semuanya di-reparasi. Alhamdulillah badan saya setelah itu terasa lebih baik dan bugar kembali. Dan saya bisa turut serta dalam acara malam dari panitia.

Sekitar pukul 20:00, kami semua menuju sebuah tempat yang tak jauh dari hotel. Di sana Kang Asep sudah menyiapkan makan malam dan sepaket api unggun untuk mendukung jalannya acara malam dari panitia. Lokasinya tepat di bibir pantai yang mana ketika kami tiba, lokasi sudah cukup ramai oleh beberapa orang yang memang tengah menikmati keindahan laut malam hari.

Kami melanjutkan game tadi siang yang sempat tertunda. Namun, sebelumnya kami menyantap boga bahari yang disajikan terlebih dahulu. Cita rasa laut sungguh dominan pada menu makan malam tersebut, seperti cumi goreng tepung, udang saus padang, dan ikan bakar (entah ikan apa) yang dikombinasi dengan sayuran, sambal dan kerupuk. Mantap! Alhamdulillah :)

Selepas makan, kami bermain game dan pertunjukkan kelompok bertajuk “QC Mencari Bakat” yaitu pentas dadakan yang hanya disiapkan selama 30 menit saja. Hehehe. Dilanjutkan dengan pembagian door prize dan “drama” penyambutan rekan-rekan QC Cibitung Juara yang belum lama bergabung serta “ngerjain” rekan-rekan yang berulang tahun... Spontan kondisi sudah mulai “brutal” dan “basah”.

Hingga tak terasa, deburan ombak kian terdengar rusuh, malam sudah berada di puncak. Gemintang semakin nyata terlihat. Kami harus (terpaksa dan dipaksa) meninggalkan pantai jam 23:30 untuk kembali ke hotel dengan berjalan kaki sekitar 10 menit.  

Dan tiba di hotel

Alih-alih langsung beristirahat, justru separuh dari kami melanjutkan drama basah-basahan dengan berenang di kolam renang hotel. Pengalaman langka berenang di tengah malam sambil berkelakar membuat ribut suasana kamar yang “cukup apes” berada di dekat kolam renang. Hehehe, maafkan ya, Bapak-Ibu sekalian :p

(Tidur)

Keesokan harinya, setelah sholat subuh di saat yang lain (mungkin) belum bangun, saya menyengaja keluar hotel untuk menengok matahari terbit dan juga melihat pemandangan pagi di pantai. Ternyata walau baru pukul 05:30 pantai sudah cukup ramai dikunjungi keluarga yang mungkin menginap di sekitar pantai. Saya mencoba mengabadikan pemandangan tersebut dengan kamera HP sambil tercenung membayangkan peristiwa tsunami yang pernah melanda.

suasana pagi di pantai depan hotel sandaan

pukul 08:00 kami semua menuju Taman Wisata dan Cagar Alam Pangandaran. Dari loket pembayaran, tersedia tangga untuk naik yang kemudian disambut dengan sekawanan monyet yang asyik berkelakar. Monyet-monyet tersebut cukup jinak dan tidak membuat takut pengunjung. Kami berjalan menyusuri jalan setapak yang disediakan hingga akhirnya tiba di Pantai Pasir Putih. Di perjalanan kami melihat ada gua peninggalan Jepang yang konon katanya merupakan sisa-sisa bekas Perang Dunia II.

snorkeling ganteng dan cantik di pasir putih

we are qc cibitung juara :) di cagar alam menuju pantai pasir putih

Tiba di pantai ini, suasana sudah cukup ramai. Banyak orang yang berenang, snorkeling dan juga rekreasi ganteng dan cantik dengan hanya melihat dari tepi. Tapi kami semua adalah pengembara yang penuh dengan rasa ingin tahu. Sayang jika hanya duduk-duduk manis menikmati dari tepi. Kami bersepakat untuk snorkeling… Yeay!!! 

Namun, harapan tidak seindah yang dibayangkan. Pemandangan bawah lautnya kurang menarik, tapi tak mengapa. Kebersamaan dan pengalaman rekan-rekan mencoba hal baru itu jauh lebih penting. Setuju? Hahaha *padahal tetep saja rugi.

Selanjutnya kami menuju wahana water sport yang jaraknya tidak jauh dari kawasan Cagar Alam. Sebetulnya berjalan pun bisa, tapi kami cukup beruntung diantar oleh motor lawas yang dimodifikasi seperti sebuah pick up bermuatan 10 orang. 

Kami naik Banana Boat yang disediakan oleh Aditya Water Sport di Pantai Timur. Untuk pertama kalinya saya mencoba water sport macam ini. Pengalaman menarik yang cukup mendebarkan. Walau tidak semenegangkan naik Hysteria-nya Dunia Fantasi, tetapi ketegangan berupa melaju menuju tengah laut, dan kemudian sengaja dijatuhkan adalah sebuah sensasi tak terlupakan dalam bermain wahana ini. Sungguh sebuah pengalaman yang berkelas! 

hati senang mencoba pengalaman menaiki banana boat. hehehe

Setelah itu, kami semua mandi, sholat dan makan siang. Beberapa membeli oleh-oleh pakaian di toko milik Kang Asep. Juga mampir sejenak dan berpisah dengan Kang Asep di Pusat Oleh-Oleh Owen yang juga menjadi titik pertemuan awal dengan beliau. Sangat berterima kasih selama dua hari ini dipandu oleh seorang tour guide yang cukup jempolan semacam Kang Asep. Hatur nuhun, Kang :)

Dan berikutnya kami resmi meninggalkan Pangandaran. Rasa lelah dan kantuk membuat suasana bus sepi semenjak pukul 14:00 sampai 17:00. Baru selepas isitirahat dan sekalian sholat maghrib di Ciamis, kondisi di dalam bus mulai ramai oleh seniman QC yang berturut-turut menyanyikan senandung karya Iwan Fals. Sebagian lagi terlelap dan melanjutkan mimpi. Rasa lelah selama dua hari di Pangandaran ditebus dengan istirahat, hingga akhirnya pukul 00:20 kami tiba kembali di pabrik dengan selamat tanpa kekurangan apapun. Alhamdulillah.

*   *   *

Perjalanan kali ini bukan melulu soal senang-senang. Pun semuanya bukanlah perkara geografis, tempat dan juga agenda. Tapi tentang pengetahuan yang bertambah, tentang kebersamaan yang terbingkai apik, juga tentang rasa syukur betapa ALLAH masih terlampau baik membiarkan kita merasakan karunia dan nikmatnya yang besar dalam sebuah keluarga bermental juara.

Sebuah ajang pembelajaran untuk menghargai kebersamaan, komitmen pada aturan, belajar kepemimpinan dan juga belajar bersyukur akan nikmat berupa bentang alam yang memukau. Semoga hikmah ini juga dirasakan oleh semua team QC Cibitung Juara, dan semoga penyelenggaraan Gathering QC ke depan bisa semakin baik, berkesan dan penuh kejutan. Aamiin :)

Saya pribadi mengucapkan terima kasih. Tak rugi menghabiskan waktu dengan kalian semua! Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari apa yang sudah kita lewati bersama. Aamiin ya Robb…

Ah, betapa bangga menjadi bagian dari team QC Cibitung Juara di Pangandaran yang juga juara indahnya. Dan senang jika saya harus berteriak lantang: "We are QC Cibitung Juara!"

siapa kita? we are qc cibitung juara :)

*   *   *

Sampai Jumpa di perjalanan yang lain! \^^/
Terima kasih ya sudah mau membaca...

Selasa, 06 Oktober 2015

semarang: pemilik landmark unik



Enam Oktober…
Semoga senantiasa diberikan kesehatan, berkah dan nikmat tiada tara dari Sang Pencipta. Aamiin :)

Masih bertemakan cerita perjalanan. Setelah di dua tulisan sebelumnya saya menulis tentang romantisnya kota Melaka dan serunya sailing trip di Nusa Tenggara yang banyak memberikan inspirasi, kali ini saya memilih untuk bercerita pengalaman saya di salah satu kota besar di Pulau Jawa. Sebuah kota yang dikenal dengan kuliner khasnya seperti lunpia, wingko babat dan juga bandeng prestonya. Menurut saya, ibu kota propinsi Jawa Tengah ini merupakan salah satu kota yang menawarkan banyak sekali landmark unik. Penasaran landmark apa saja yang ada di Semarang? Saya akan sedikit bercerita. Satu... Dua... Tiga...

*   *   *

Pertama kali saya menginjakkan kaki di kota Semarang adalah ketika liburan kuliah semester I di tahun 2006. Saat itu saya diajak oleh seorang teman yang berkampung halaman di Semarang. Prasetyawan namanya. Kami menggunakan motor dari Jogjakarta setelah menempuh perjalanan sekitar 3 jam melewati kota-kota seperti Magelang, Secang, Ambarawa dan Ungaran. Sungguh sebuah kenangan yang masih bisa saya ingat karena suasananya syahdu diguyur hujan. #halah.

Karena hanya sekedar ingin tahu saja, pada kesempatan tersebut saya tidak kemana-mana. Hanya di rumah teman seharian, dan sempat menjelang senja saya diajak ke Pelabuhan Tanjung Emas. Mungkin karena faktor senja dan matahari yang indahlah yang membuat pelabuhan tersebut bagi saya begitu mengesankan (saat itu). Malamnya saya membeli oleh-oleh wingko babat di sekitar Pandanaran, dan esok paginya selepas subuh pulang ke Bandung menggunakan bus. Sebuah cerita singkat sebagai awal perkenalan dengan kota ini.

Ternyata Semarang memanggil saya kembali 2 tahun setelah itu. Tepatnya ketika liburan semester VI yang bertepatan dengan saya melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Semarang mengundang saya untuk mau bercengkrama lebih lama lagi ketika saya berkesempatan menjadi salah satu delegasi Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam acara Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional atau yang lebih akrab disebut PIMNAS ke XXI di Universitas Islam Sultan Agung (Unissula), Semarang.

Tentu saja agenda utama dari kegiatan tersebut adalah berupa perlombaan. Walau saya bukan terpilih sebagai presenter, hanya penyaji poster tapi rasanya itu lebih dari cukup. Banyak sekali inspirasi dan ide-ide program kreativitas mahasiswa yang akhirnya saya dapatkan dari acara tersebut.

Satu hari waktu bebas yang diberikan tidaklah disia-siakan oleh para delegasi. Kami menyambut gembira dengan berkunjung ke Kota Tua dimana terdapat sebuah landmark kebanggan Semarang bernama Gereja Blenduk. Kemudian dilanjut dengan wisata sejarah yang cukup angker di Lawang Sewu yang juga landmark dengan arsitektur ciamik di pusat kota Semarang. Mengapa saya katakan angker? Karena aura gedung tersebut memang terkesan agak kelam. Belum lagi saya memberanikan diri bersama segelintir teman yang lain, dengan sukarela mendaftarkan diri dan membayar sejumlah uang untuk turun ke ruangan bawah tanah dengan bersenjatakan senter dan sepatu boot. Hhhmmm, mau ngapain ya?

kiri: salah satu gedung di kawasan kota tua; kanan: depan lawang sewu 2008

Kami bersepuluh dipandu oleh seorang tour guide yang menceritakan sudut-sudut angker ruangan tersebut. Dalam kondisi becek dan pekat, kami masih sempat melihat apa yang kemudian disebut penjara duduk dan penjara berdiri yang luasnya kurang dari 1 meter persegi, tetapi untuk ditinggali 4-6 orang. Bisa dibayangkan bukan? Sesak dan tak bisa leluasa hanya menunggu tiket kematian datang. Sungguh membuat saya merasa bahwa banyak manusia yang tidak dimanusiakan. Ini sebab saya mengatakan bahwa Lawang Sewu memang berasosiasi pada sebuah kata "angker".

Selesai dari Lawang Sewu, rombongan kemudian menunaikan sholat jum’at di Masjid Agung Jawa Tengah. Biarlah suasana angker berganti dengan kedamaian. Landmark satu ini sungguh bernilai estetika tinggi yang memadukan gaya arsitektur jawa, islam dan romawi. Yang unik dari masjid ini adalah adanya 6 buah payung elektrik yang mirip dengan Masjid Nabawi. Selain itu, dari gardu pandang di sebuah menara lantai 19, kami bisa melihat keindahan kota Semarang dari ketinggian. Sungguh pengalaman berharga. Wajib banget untuk datang ke tempat ini kalau berkunjung ke Semarang ya, kawan-kawan :)

Singkat cerita, acara PIMNAS berakhir sudah. UGM dinobatkan sebagai Juara II di bawah Universitas Brawijaya Malang yang berhasil memeperoleh medali emas terbanyak. Walaupun UGM saat itu tidak berhasil menyabet gelar juara untuk ketiga kalinya, tapi bagi saya pribadi Semarang telah memberikan banyak ide menarik melalui PIMNAS-nya. Terima kasih :)

Semua memori berkesan tersebut ditorehkan dalam jejak-jejak saya sebagai mahasiswa. Sebagian masih teringat karena terdokumentasikan dalam foto. Sebagian lagi teringat di memori otak. Sebetulnya saya sudah cukup puas menjamah Semarang karena landmark tersohornya sudah saya kunjungi. Namun, takdir justru mempertemukan saya kembali dengan Semarang. Dan saat tersebut, saya sudah bukan lagi seorang mahasiswa.

Tepatnya Mei 2014, artinya 6 tahun setelah kunjungan kedua, saya kembali menyambangi Semarang. Kali ini adalah acara gathering bersama teman kantor. Berangkat pagi dari stasiun Pasar Senen dengan Kereta Api Tawang Jaya kelas ekonomi, saya dibuat kagum sekagum-kagumnya. Walau kelas ekonomi, tetapi kereta ini berangkat dan tiba di tujuan pada waktu yang sangat luar biasa tepat. Tidak kekurangan atau kelebihan 1 menit pun. Proficiat untuk PT. Kereta Api Indonesia yang sudah melakukan banyak sekali perbaikan.

Tiba di stasiun Semarang Poncol, kami sudah ditunggu oleh angkutan kota (angkot) yang sudah saya hubungi sebelumnya untuk disewa hingga nanti malam. Angkot inilah yang akan menghantarkan kami berkeliling Semarang untuk mengagumi beberapa landmark unggulan dan juga kulinernya.

Berhubung waktu sudah siang dan bertepatan dengan jam makan siang, kami diantar menuju kuliner khas, yaitu Tahu Gimbal Pak John yang cukup terkenal dan berlokasi di daerah Sendowo. Rasanya enak, cara buatnya pun menarik, dan yang pasti harganya sangat terjangkau. Kalau tidak salah Rp11.000 saja per porsi.

tahu gimbal pak john

Dari situ, kami kemudian malanjutkan perjalanan ke Masjid Agung Jawa Tengah untuk sholat dzuhur dan ashar. Nampaknya landmark yang satu ini tidak perlu dibahas lagi karena sudah diceritakan pada kunjungan saya sebelumnya. Hehehe.

masjid kebanggan semarang yang begitu artistik dan memukau

Kemudian kami bersepakat untuk mengunjungi sebuah kelenteng peninggalan Laksamana Cheng Ho. Namanya Sam Poo Kong yang beralamat di Jl. Simongan Raya No.129. Hari sudah agak sore tetapi cuaca Semarang belum mau berdamai. Panas! Kami semua melihat-lihat dan berfoto di area kelenteng ini. Menarik sekali dan mendapatkan pelajaran sejarah tentang bagaimana pelayaran negeri tirai bambu masa lalu yang sampai di nusantara.

sam poo kong: sebuah peninggalan seorang laksamana dari negeri tirai bambu

Dari Sam Poo Kong, angkot dengan gagahnya melesat menuju Lawang Sewu. Sempat terkaget karena landmark andalan Semarang yang juga merupakan bekas kantor kereta api zaman dulu ini sudah mempercantik dirinya. Dinding bangunan sudah dicat dengan aksen warna yang lebih segar. Kesan kusam kini tak lagi kentara. Berada di Lawang Sewu saat itu seperti tengah berada di Belanda (padahal belum pernah ke Belanda. Hehehe). 6 tahun tidak bertemu ternyata telah mengubah Lawang Sewu menjadi lebih amboi.

Langit sudah berganti senja. Secara jujur saya mengatakan bahwa senja di tempat ini sungguh merupakan sebuah suasana yang romantis. Kesan angker yang identik dengan Lawang Sewu justru lebih saya rasakan ketika di kunjungan sebelumnya yang padahal hari masih siang. Mungkin karena sekarang Lawang Sewu lebih ramai, bahkan hingga sore pun masih banyak pengunjung yang datang. Kami mengunjungi beberapa ruang tempat koleksi gambar-gambar perkeretaapian zaman dulu. Di satu sudut, kami melihat seniman yang melukis dengan hebat mambuat Lawang Sewu menjadi lebih menarik.

lawang sewu kala senja di tahun 2014. berbeda sekali dengan 2008 bukan?

Hingga akhirnya maghrib pun tiba. Kami sholat di sebuah masjid dekat Lawang Sewu dan setelahnya lanjut ke Kawasan Simpang Lima untuk mancari makan dan menghabiskan malam di sana dengan menyewa sepeda untuk berkeliling mengitari Simpang Lima. Keceriaan malam dan juga tawa masih terlihat di muka teman-teman. Malam di kawasan tersebut semakin meriah karena dipenuhi dengan lampu-lampu kota dan juga fluorescence yang berkelap-kelip. 

aktivitas malam di simpang lima: makan dan bersepeda ditemani kerlip lampu

Kami menghabiskan waktu dan berpisah dengan pengemudi angkot yang telah berjasa membantu kami menitipkan jejak petualangan selama 8 jam di Semarang. Sekitar pukul 21:30 WIB, dua orang anggota team sebuah Event Organizer (EO) menjemput kami. Semarang harus kami tinggalkan sementara. Dataran Tinggi Dieng telah menunggu sebagai tempat gathering kami yang utama. Tapi tenang… Dua hari lagi, kami kembali ke Semarang untuk transit sejenak ke Stasiun Semarang Tawang.

Dan benar, dua hari kemudian setelah kepulangan kami dari Dieng, kami bertemu kembali dengan Semarang. Waktu teramat pagi ketika kami sampai di Stasiun Semarang Tawang, yaitu sekitar pukul 03:00 WIB. Sembari menunggu kereta pagi pukul 06:00, saya berjalan sendirian menuju kawasan Kota Tua. Agak horor karena jalanan begitu sepi, tapi saya pikir ini adalah pengalaman antimainstream yang butuh keberanian. Akhirnya saya terus melangkahkan kaki dengan hanya mengikuti firasat. Sampai di Gereja Blenduk, saya berkreasi sendiri jeprat-jepret di kawasan ini hingga akhirnya adzan subuh mengantarkan saya kembali ke stasiun untuk kemudian menunggu kereta yang akan membawa kami kembali ke Jakarta. Argo Sindoro!

berkreasi sendiri di kawasan kota tua yang kaya akan landmark gaya kolonial

Terima kasih, Semarang! Mungkin akan ada pertemuan keempat denganmu. Nanti! Dan jika itu terjadi, masihkan landmark-landmark andalanmu ramah menyapa? Hopefully!

*   *   *

Sampai Jumpa di perjalanan yang lain! \^^/
Terima kasih ya sudah mau membaca...