Malam itu seolah menjadi hajatan mewah bagiku. Mata
masih saja terjaga padahal waktu sudah menunjukkan pukul 01:30 WIB dini hari.
Mungkin ini adalah efek hormon kebahagiaan karena seharian sebelumnya aku
bersama teman kantorku dan beberapa temannya yang sedang menuntut ilmu di Universitas
Brawijaya disuguhi pemandangan oseania yang anggun. Pulau Sempu dengan Segara
Anakan yang orang bilang seperti Phi Phi Island-nya Indonesia berhasil
menyumbangkan setetes senyawa serotonin yang membawa kebahagiaan seperti
memakan sebongkah coklat.
Namun, bagiku itu bukan klimaks dari liburanku ke
Malang. Wajar saja sebagai seorang yang lebih menyukai hutan dan gunung, aku
lebih menantikan malam ini. Jarum pendek dan jarum panjang sudah memberikan
kombinasi yang tepat untuk berangkat meninggalkan kota Malang. Langit hitam
memayungi kota yang sudah sangat sepi, hanya beberapa titik saja yang masih
menunjukkan aktivitasnya. Bersama 3 orang teman, kami melesat menuju pos
penyewaan Jeep (Hardtop) Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, untuk kemudian
mengantarkan kami menuju Pananjakan (titik yang menjadi primadona ribuan
wisatawan berebut memasang lensa matanya demi sebuah matahari terbit).
Sekitar pukul 03:30 WIB kami sampai di pos penyewaan Jeep.
Udara dingin berebut menyambut kami selepas turun dari mobil. Dari kami
berempat, hanya aku dan teman kantorku saja yang akan ke Pananjakan, sisanya
menunggu di mobil untuk beristirahat karena mereka memang belum sempat tidur
kemarin. Akhirnya kami memutuskan untuk join menyewa Jeep supaya biayanya lebih
murah. Untungnya ada 4 orang mahasiswa asal Surabaya yang akhirnya mau bergabung
dengan kami berdua. Akhirnya lengkap sudah 6 orang dalam 1 Jeep menuju sepaket
titik yang kami sewa, yaitu Pananjakan – Pasir Berbisik – Kawah Gunung Bromo.
Yes!
Pananjakan sudah seperti pasar malam yang dipenuhi
oleh ribuan wisatawan yang juga memasang lensa matanya untuk menyaksikan
kejelitaan Bromo pagi hari. Kami mencari titik terbaik untuk bisa melihat
jingga pertama hari itu. Ya, semua lensa mata yang hadir saat itu menantikan
detik demi detik perubahan yang terjadi di angkasa. Mulai dari pekatnya hitam
ditaburi bintang, sedikit jingga bercampur biru gelap, dan mulai terlihat
setitik jingga besar yang bersorot gagah. Indah! Perubahan gradasi warna inilah
yang mengundang jepretan kamera terdengar dari setiap celah. Dan memang benar
apa kata orang, Pananjakan Gunung Bromo merupakan salah satu tempat terbaik di
dunia untuk melihat matahari terbit. Dari atas sini kami pun bisa melihat jelas
serentetan gunung yang berada dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru,
yaitu Gunung Bromo, Gunung Batok dan Gunung Semeru. Setelah puas berfoto-foto,
akhirnya perjalanan kami teruskan menuju Pasir Berbisik.
Rute menurun kami lewati dengan medan yang agak
ekstrim. Jalan berkerikil dan debu yang membumbung menemani perjalanan menuju tempat
tersebut. Setelah melewati kaldera yang begitu luas akhirnya sampai juga kami
di suatu tempat yang sempat menjadi lokasi syuting film dengan judul yang sama.
“Wajar disebut Pasir Berbisik”, pikirku. Hamparan pasir yang luas tertiup
hempasan angin seolah bersuara dengan nada bisikan yang mengalun hangat. Dari
hamparan pasir, terlihat tebing-tebing kokoh dan juga terpancang Gunung Bromo
dan Gunung Batok yang jelas terlihat. Keduanya tampak serasi mewarnai
kejelitaan yang bisa dilihat di kawasan Pasir Berbisik ini. Belum lagi
pemandangan Jeep lainnya yang lalu lalang datang secara periodik membawa
wisatawan lain yang juga tersihir oleh keindahan Pasir Berbisik. Tentunya
pemandangan seluas ini menggoda kamera untuk “klik” terus-menerus.
Matahari sudah agak meninggi. Teriknya mulai terasa
di kulit. Ternyata sudah pukul 08:00 WIB. Kami memutuskan untuk putar balik
menuju kawah Gunung Bromo. Turun dari Jeep, kami masih harus hiking sekitar 1
km untuk menuju kawah. Untuk sampai ke puncak sana tersedia dua pilihan yaitu
dengan berjalan kaki atau menaiki kuda. Kami memilih berjalan kaki saat itu. Di
perjalanan kami melewati sebuah pura Hindu yang agak tertutup dan sepi. Pura
Luhur Poten namanya.
Angin yang sangat kencang membuat longmarch yang kami lakukan sedikit
kurang nyaman karena hempasan debu yang membuat mata perih. Selain itu,
terkadang kami harus berebut jalan sempit dengan para penunggang kuda. Saranku
adalah membawa masker dan kacamata jika ingin berjalan kaki menuju kawah.
Akhirnya setelah berjalan hampir 45 menit, kami tiba di puncak setelah melewati
anak tangga yang tersedia ketika menjelang ke puncak. Sebetulnya tidak terlalu
spesial melihat kawah Gunung Bromo. Hanya kepulan asap disertai bau belerang
yang tidak terlalu menyengat dan beberapa orang yang sekedar mengabadikan foto.
Namun, pemandangan dari atas aku kategorikan cukup jelita. Hamparan kaldera
yang luas, ribuan orang yang naik dan turun seperti sekawanan semut, Pura Luhur
Poten merupakan pemandangan tersendiri yang mengobati rasa lelah kami. Tak lama
berada di atas, akhirnya kami memutuskan untuk turun dan menuju Jeep kembali.
Jeep berjuang melewati medan yang sama seperti ketika
turun menuju kaldera. Dan kami diberikan kejutan tak disangka, yaitu melihat
sekawanan pecinta sepeda yang berjuang melewati kaldera berpasir yang aduhai
itu. “Sungguh hanya orang bermental baja saja yang mau melewati kaldera macam
itu dengan bersepeda,” gumamku.
Perpaduan mesin dan pengemudi Jeep begitu gagah meninggalkan
kaldera untuk kemudian kembali menuju jalan aspal dan mengantarkan kami kembali
ke tempat parkir mobil. Di sini akhirnya kami berpisah dengan 4 mahasiswa asal
Surabaya tersebut. Selanjutnya yang aku tahu mereka akan meneruskan perjalanan
ke Malang, dan sebaliknya aku dan 3 temanku meneruskan perjalanan ke Surabaya.
Sambil menikmati perjalanan menuju Surabaya, memori
Bromo masih begitu terrekam jelas dalam
panca inderaku, sambil kemudian aku bersyair:
Wahai, Bromo…
Engkau telah
memenuhi lensa mataku dengan keindahan yang tak terperi
Engkau telah
menyusupkan file-file sekian gigabyte dalam memori otakku
Engkau telah
memaksa suara-suara alam yang ada padamu masuk ke dalam gendang telingaku
Engkau juga
telah berhasil membuat hatiku terpaut padamu, untuk sekali lagi bertemu
denganmu dengan perempuanku kelak. Ya, nanti, tunggu kami…
Sampai jumpa lagi, Bromo. Satu kata untukmu: Jelita!