Awal Oktober…
Semoga senantiasa diberikan kesehatan, berkah dan nikmat
tiada tara dari Sang Pencipta. Aamiin :)
Beberapa hari ini, pikiran saya seperti dibawa pada lorong
waktu masa lampau. Teringat akan perjalanan dan pengalaman ke tanah Malaysia.
Tepatnya sebuah kota yang menjadi persinggahan awal bangsa Portugis
menginjakkan kaki ke wilayah nusantara dan sekitarnya, yaitu Melaka.
Bagi saya Melaka adalah sebuah kota yang menarik dan mengesankan. Kota yang sarat akan sejarah, romantis dan begitu otentik! Tulisan kali ini akan membahas pengalaman saya berkunjung ke Melaka. Selamat membaca dan semoga mendapatkan inspirasi dan manfaat ya :)
* * *
Tahun 2012 silam, saya bersama dua orang teman (Icha dan
Winda) melakukan perjalanan ke Singapura yang dilanjut ke Malaysia. Singkat
cerita, setelah dua hari di Singapura, kami melanjutkan perjalanan ke Melaka.
Dari Singapura kami menggunakan bus (lupa namanya) menuju terminal Larkin di Johor Bahru. Berhubung
perjalanan ini akan menembus garis batas dua negara yang berbeda, maka di
tengah perjalanan akan ada pengecekan imigrasi. Bus akan menurunkan penumpang
untuk melakukan pengecekan paspor dan mendapatkan izin masuk ke “tanah melayu”.
Setelah semua selesai, penumpang bisa melanjutkan perjalanan dengan bus lain
selama tujuannya sama, yaitu ke terminal Larkin.
Kami sampai di terminal Larkin sekitar pukul 08:30 waktu
setempat. Bentukan dan kondisi terminal tersebut mirip dengan terminal-terminal
yang ada di Indonesia. Bedanya kondisinya relatif lebih sepi.
Bus ke Melaka baru akan berangkat di jam 10:00. Baiklah... artinya masih banyak waktu tersisa. Setelah membeli tiket ke sebuah agen bernama “Syarikat Pengangkutan Maju Bhd” yang akan menghantarkan kami ke Melaka, kami menunggu dan saling mengobrol demi menghabiskan waktu.
bus johor bahru - melaka |
Benar saja. Tepat pukul 10:00 bus berangkat. Menarik sekali
busnya dalam 1 baris ada 3 seat saja (2-1). Pas sekali kami bertiga mengambil 1
baris. Interiornya serba merah gagah berani…
Perjalanan dari terminal Larkin ke Melaka kurang lebih 3 jam via jalur tol. Hampir sama dengan perjalanan dari Bandung – Bogor. Saya memperhatikan pemandangan sepanjang jalur tol dari balik jendela. Sebuah hobi dan kesenangan yang sangat saya syukuri (bingung kan hanya melihat jendela mobil atau bus saja saya perlu bersyukur? Suatu saat, mungkin akan saya ceritakan). Secara keseluruhan agak mirip dengan pemandangan di Indonesia. Bedanya di sepanjang jalur tol Larkin – Melaka banyak ditanami kelapa sawit. Pemandangan yang sangat Indah dan serba hijau.
3 jam perjalanan akhirnya berakhir ketika samar-samar saya
merasa sudah berada di gerbang keluar pintu tol. Melaka sudah di depan mata.
Kami turun di sebuah tempat bernama Dataran
Pahlawan.
Segera kami mencari alamat penginapan yang akan dijadikan
tempat melepas lelah nanti malam. Tak sulit menemukannya. Sebuah penginapan
yang dari luar lebih mirip dengan rumah. Namanya Mari Mari Guest House. Tebak berapa harga per malamnya dalam
rupiah? Hanya 50.000 rupiah saja. Kamarnya memang kecil hanya seukuran 2 x 2
meter, tapi lumayan sudah dilengkapi dengan AC.
tampak depan "mari-mari guest house" |
Di penginapan, kami hanya sholat, minum dan menyimpan
barang-barang. Berhubung lokasi penginapan dekat dengan kawasan wisata heritage
kota Melaka, maka kami memilih jalan kaki untuk melahap sekawasan tersebut.
Perlu diketahui bahwa Melaka yang kami kunjungi adalah sekawasan yang dipenuhi
dengan landmark yang menjadi kota warisan dunia yang dikukuhkan oleh UNESCO.
ini dia peta kota warisan dunia "melaka" yang diperoleh dari guest house |
Mulai dari gedung Memorial
Pengisytiharan Kemerdekaan yang merupakan sebuah museum yang menyimpan
semua berkas, gambar, peta, perjanjian dan lain-lain tentang kemerdekaan Tanah
Melayu. Kemudian berjalan sedikit saja, akan dijumpai sebuah reruntuhan benteng
bernama A Famosa yang merupakan
peninggalan Portugis sebagai bangsa pertama yang menaklukan Bandar Melaka di
tahun 1511. Tampak di sana sebuah pintu gerbang yang masih gagah berdiri
bernama Porta de Santiago.
kiri: memorial pengisytiharan kemerdekaan; kanan: a famosa |
Lanjut berjalan dan menaiki anak tangga yang tidak terlalu
tinggi untuk menuju St. Paul's Hill, mata kami disuguhkan pada sisa reruntuhan Gereja St. Paul’s yang dinding interior dalamnya bercorak seperti batu bata yang keren.
"Sejarah yang megah pernah ada di sana", pikir saya. Sisa-sisa kejayaan yang kini
terlihat muram tersebut, untungnya dibalut dengan keceriaan. Becak yang dihiasi
dengan bunga-bunga “norak” dan memutar lagu-lagu Indonesia, Melayu dan India dengan sangat keras ini banyak betebaran di sekitar kawasan. Seolah keberadaannya memberikan warna kebahagiaan di balik sisa kejayaan masa lampau. Paduan
yang memberikan kesan keseimbangan tentang sebuah perasaan.
gereja st. paul's |
Kemudian kami berjalan menuju sekawasan gedung-gedung
berwarna merah yang mencolok. Mulai dari Muzium
Islam Melaka, Muzium Senibina
Malaysia, Muzium Sejarah, Ethnografi
dan Sastera, dan juga Stadhuys yang
merupakan bangunan Belanda yang difungsikan sebagai balai kota setelah Belanda
berhasil mengambil alih Melaka dari tangan Portugis di tahun 1641. Kawasan ini semakin
cantik dengan kehadiran sebuah Gereja Kristen Melaka
berangka tahun 1753 di dinding atasnya, yang lokasinya berseberangan dengan sebuah menara
jam yang juga berwarna merah. Banyak sekali orang duduk-duduk dan menghabiskan
waktu di kawasan ini.
kiri: becak di melaka yang unik; kanan: di depan gereja kristen melaka berangka tahun 1753 |
Berjalan kembali, kami menyebrang dari kawasan Stadhuys melewati
sebuah bunderan menuju Jonker Street yang kalau malam disulap menjadi pasar
malam. Di perjalanan menuju Jonker
Street, kami tak sengaja bertemu dengan sepasang pengantin yang baru saja
merayakan pernikahannya. Beruntung mereka mau diajak berfoto. Hehehe.
kiri: di depan casa del rio; kanan atas: di depan jonker street; kanan bawah: bersama pasangan pengantin |
Tepat di muka Jonker Street, ada sebuah tempat makan yang
menjual menu es durian cendol yang dikemas dengan kemasan yang atraktif. Kami
semua berisitrahat dan mencicipinya. Sedap nian :)
Kemudian kami berkeliling menyusuri Jonker Street sambil
membeli ini-itu yang menarik untuk dibeli, mulai dari gantungan kunci hingga
makanan kering untuk oleh-oleh.
Langkah kami kemudian tertuju pada sebuah menara yang sudah
terlihat sejak awal melangkahkan kaki di kawasan ini. Menara Taming Sari namanya. Sambil jalan menuju menara tersebut
kami melewati Kincir Angin Kesultanan
Melayu Melaka dan Muzium Samudera.
Hanya lewat saja dan mengambil foto sejenak.
Sampai di Menara Taming Sari, kami langsung membeli tiket. Menara
ini bisa dinaiki dan dari atasnya, kami bisa melihat seluruh kawasan warisan
dunia ini dan juga batas-batas daerah kota Melaka lainnya. Harga tiketnya
terbilang mahal, yaitu 20 ringgit atau setara dengan 60.000 rupiah. Tapi tenang
tidak akan rugi kok. Dari atas pemandangannya sangat indah. Kita bisa melihat
seluruh sudut karena menara bisa berputar hingga 360 derajat. Wajib banget
untuk coba naik ini kalau suatu saat ke Melaka ya, kawan-kawan.
menara taming sari dan pemandangan dari atasnya |
Sore menjelang, kami melanjutkan perjalanan dengan langkah
kaki yang sudah mulai lelah, maklum belum ada makanan berat yang masuk ke dalam
perut kami karena keterbatasan makanan halal di Melaka. Akhirnya kami berjalan
menuju Dataran Pahlawan untuk mencari makanan, dan bersyukur sekali kami akhirnya
bisa makan di sebuah rumah makan bernama Asam
Pedas Selera Kampung yang menjual nasi, ayam dan seafood yang setelah
ditanyakan, Alhamdulillah halal.
Setelah kenyang, dan langit pun sudah mulai gelap, kami
kemudian melanjutkan petualangan untuk menaiki river cruise, yaitu
sebuah wahana perahu yang akan melewati Sungai Melaka. Ini adalah hal wajib
lainnya ketika datang ke Melaka. Kami dibawa menyusuri sungai yang bersih di
mana kanan dan kiri dipenuhi dengan pemandangan yang juga menarik. Salah
satunya yang masih saya ingat dan didengungkan oleh sang nahkoda adalah Kampung Morten yang merupakan sebuah
kawasan dengan rumah adat khas Malaysia yang masih terjaga hingga kini.
melaka river cruise |
Sebelum pulang, rasanya belum lengkap jika ke Melaka tapi
tidak datang ke pasar malam di kawasan Jonker Street. Suasana pasar malamnya
sangat mirip seperti di Indonesia. Banyak orang berjualan makanan dari yang
sederhana sampai makanan yang tak bisa diterka wujudnya, barang pecah belah, barang
antik, cindera mata, dan lain sebagainya.
inilah yang kan dijumpai di pasar malam jonker street |
Selesai menikmati keramaian tersebut, sekitar pukul 22:00
kami memutuskan untuk kembali ke penginapan dan berisitirahat. Kurang lebih 8
jam sudah waktu yang dihabiskan berkelana di kawasan Melaka dengan berjalan
kaki. walau memang tidak jauh, tetapi badan sudah meminta haknya untuk
istirahat. Malam itu merupakan salah satu malam yang megah untuk saya!
Keeseokan harinya, pagi-pagi sekali sekitar jam 6 pagi kami check out dari penginapan. Beruntung
sekali pemilik penginapan yang merupakan seorang lelaki paruh baya yang saya
terka berumur 40 tahunan bersedia menawarkan diri dan mobilnya untuk
mengantarkan kami ke terminal. Tentunya dengan biaya tambahan yang kami pikir
masih cocok. Hehehe.
Pria pemilik penginapan ini rupanya bisa berbahasa Indonesia.
Sepanjang perjalanan kami berbincang-bincang sampai akhirnya kami sampai di
terminal yang akan membawa kami pada belahan Malaysia yang lain, yang lebih
modern dan maju. Apa lagi kalau bukan sang ibukota Kuala Lumpur.
* * *
Itulah petualangan saya selama di Melaka. Sebuah kota bersejarah yang romantis, dan mudah-mudahan saya berkesempatan untuk mengunjunginya kembali sekali lagi bersama keluarga... Aamiin ya Robb :)
Sampai Jumpa di perjalanan yang lain! \^^/
Terima kasih ya sudah mau membaca...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar