Membaca beberapa bab tentang konsep rejeki pada buku
lapis-lapis keberkahan karya penulis muda Salim A. Fillah membuat saya
merenung. Sejalan dengan apa yang saya yakini, rejeki adalah sebuah kebaikan
ALLAH yang diberikan kepada semua makhluk-Nya di muka bumi ini, tak terkecuali
binatang melata semacam cicak pun sudah ALLAH gariskan rejekinya. Padahal cicak
hanya bisa merayap di dinding, tetapi bagaimana mungkin ia tetap bisa makan dan
hidup? Jawabannya adalah karena nyamuk sudah disiapkan ALLAH untuk bisa terbang
dan sesekali menuju cicak “menawarkan dirinya” dimangsa. Sungguh luar biasa
bukan? ALLAH benar-benar menyiapkan rejeki bahkan untuk cicak sekalipun? Apatah
lagi untuk manusia sebagai makhluk terbaik yang diciptakan-Nya.
Namun, sayangnya manusia sendirilah yang kemudian dengan akal dan pikirannya membuat batasan-batasan rejeki menurut persangkaan dan ilmunya yang tak seberapa. Rejeki lebih diidentikkan dengan perkara harta, lebih spesifik lagi adalah uang. Tidak semua berpikir demikian memang, tetapi senyatanya uang telah identik dengan rejeki.
Namun, sayangnya manusia sendirilah yang kemudian dengan akal dan pikirannya membuat batasan-batasan rejeki menurut persangkaan dan ilmunya yang tak seberapa. Rejeki lebih diidentikkan dengan perkara harta, lebih spesifik lagi adalah uang. Tidak semua berpikir demikian memang, tetapi senyatanya uang telah identik dengan rejeki.
sumber: kyahmad.wordpress.com |
Pernah mendengar ungkapan seperti ini? “Mah, Papah baru saja
dapat rejeki lebih. Tadi dapat bonus tambahan 1 juta”. Seolah rejeki tambahan
itu adalah uang 1 juta tersebut. Lantas ketika pulang kerja dengan selamat,
aneh rasanya jika bilang: “Mah, Papah dapat rejeki besar yang luar biasa,
keselamatan selama di perjalanan, penjagaan ALLAH dari hal-hal buruk. Sungguh
senang sekali”. Aneh ya? Iya aneh karena manusia telah memberikan batasan atau standard
rejeki itu adalah uang yang setara dengan nominal-nominal dalam satuan rupiah,
dollar, euro atau yuan.
Miris memang melihat fenomena seperti ini, uang telah
berhasil menjadi “berhala” yang menggerakkan manusia bertindak sesuai standard
yang ada. Tak jarang perseteruan yang terjadi, tersebab karena harta. Banyak
orang khawatir bersedekah karena uangnya berkurang. Banyak orang khawatir
memiliki banyak anak karena takut pengeluaran tambah banyak. Sebaliknya, banyak orang membelanjakan
uang dengan mudah dan tanpa pikir panjang untuk kesenangannya dan memenuhi hawa nafsunya.
Uang kini telah menjadi sumber ketakutan, bukan lagi ALLAH yang perlu ditakuti. Uang
sudah menjadi sumber kebahagiaan, bukan lagi ALLAH sebagai pemilik segala kebahagiaan. Padahal jika boleh saya
memilih, saya ingin menjadi orang yang paling ringan hisabnya tersebab harta,
khususnya uang. Saya berharap harta yang didapat, jelas sumbernya sehingga bisa
menjawab pertanyaan di akhirat kelak. Pun saya berharap harta yang
dibelanjakan, jelas peruntukannya untuk kepentingan ALLAH sehingga bisa tenang
ketika hisab nanti. Aamiin…
Ah pelik sekali masalah uang ini. Rugi sekali rasanya jika
hidup hanya dipenuhi dengan urusan uang dan uang. Bukan berarti hidup tak perlu
uang, tetapi tempatkanlah uang dengan bijak sesuai posisinya.
Saya hanya khawatir, standard kebahagiaan kelak akan berubah dari yang semula menggunakan standard ALLAH, yaitu memperoleh derajat takwa, tapi mungkin suatu saat (atau bahkan sudah terjadi) berganti menjadi standard versi manusia yang mengukurnya dari banyak sedikitnya harta yang dimilikinya.
Saya hanya khawatir, standard kebahagiaan kelak akan berubah dari yang semula menggunakan standard ALLAH, yaitu memperoleh derajat takwa, tapi mungkin suatu saat (atau bahkan sudah terjadi) berganti menjadi standard versi manusia yang mengukurnya dari banyak sedikitnya harta yang dimilikinya.
Jadi, dari mana hartamu didapat dan ke jalan mana harta
tersebut mengalir keluar? Siapkah dengan 2 pertanyaan ALLAH tersebut kelak di
akhirat? Semoga sudah siap ya :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar