Assalamu’alaykum…
Kemudian, saya berkaca pada kondisi anak-anak sekarang. Beberapa hal saya bangga sekaligus iri manakala mendapati kabar bahwa ada sekumpulan anak-anak yang belum genap 10 tahun sudah hafal Al Qur’an alias hafiz. Subhanallahu sungguh menawan sekali! Tapi di lain pihak, miris juga tatkala mendapati tak sedikit anak-anak yang justru sampai sudah SMA sekalipun belum bisa membaca Al Qur’an. Masya ALLAH.
Selamat pagi
semuanyaaa… Bertemu lagi di laman blog saya yang sederhana ini. Terima kasih
yang sudah mau berkunjung. Baik yang dengan sukarela karena sudah menjadi pengunjung
setia, yang karena tidak sengaja nemu pas googling
alias kesasar, yang dipaksa untuk visit oleh saya, atau yang hanya sekedar
lirik lantas bilang “owh okay, cukup tahu” hahaha. Ya apapun itu, sejatinya
ALLAH yang memperkenankan laman blog saya ini dilirik oleh teman-teman sebagai
orang-orang yang beruntung. Selamat!!! *hehehe pede abis :)
Ok, tahun
2014 sudah sama-sama kita masuki. Banyak orang membuat resolusi barunya dengan
niat sepenuh hati untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Saya yakini itu.
Apapun bentuk resolusi teman-teman, semoga mewujud nyata ya, dan harapannya
resolusi yang dibuat semoga memiliki value
dan kualitas yang superb. Aamiin.
Belakangan
ini, beberapa posting di timeline akun
twitter saya sedang ramai dibicarakan sebuah program bernama ODOJ alias one day
one juz. Dari namanya saja sudah jelas kegiatannya seperti apa, yaitu membaca
Al Qur’an 1 Juz per hari yang dilaksanakan serempak oleh sekelompok orang. Sebuah
program yang baik menurut saya. Terlebih bila program ini sudah terbiasa
dikenalkan kepada anak-anak kecil. Daripada banyak main ga jelas, nampaknya
program ini bisa menjadi ladang pahala untuk anak-anak dan juga menjadi tameng
awal di tengah kondisi kehidupan yang serba sekuler seperti sekarang ini.
Mengingat
ODOJ ini, pikiran saya terbawa terbang kepada memori masa lalu. Nostalgia
ketika masa kecil dulu, tepatnya ketika masa-masa saya baru pertama kali bisa
membaca sepotong “alif, ba, ta, tsa”. Kapankah itu? Kelas 5 SD. Waktu yang agak
terlambat memang, tapi lebih keren dibandingkan tidak sama sekali. Agree?
Iya, saat
itu saya termasuk anak yang sangat ketinggalan dalam urusan membaca huruf arab
dan juga rangkaiannya dalam bentuk ayat dan surat. Beberapa surat pendek untuk
digunakan sholat lima waktu, saya hafal tapi tanpa mengetahui cara membaca
hurufnya. Ketika saya memasuki kelas 5 SD sekitar tahun 1997-an, metode
pembelajaran agama di kelas saya adalah dengan membahas setiap bab yang ada di
buku pelajaran. Biasanya akan ditunjuk beberapa murid yang akan membacakan ayat
yang ada pada bab tersebut.
Suatu
ketika, saya ditunjuk menjadi orang yang beruntung tersebut. Sungguh beruntung
saya bilang. Betapa tidak? Tetiba badan saya panas dingin, saya gemetar, saya gugup.
Jelas sekali bahwa saya sedang dihadapkan pada sebuah tulisan arab yang sama
sekali saya tidak bisa membacanya. Seperti hieroglyph
zaman Mesir atau tulisan paku (kuneiform) zaman Mesopotamia. Saya melihatnya
seperti kode-kode yang tidak bisa saya baca, apalagi saya artikan. Akhirnya
saya mengaku kepada guru bahwa saya tidak bisa membacanya. Belum bisa tepatnya.
Dengan rasa sangat malu saat itu, saya berjanji di dalam hati bahwa saya harus
bisa menguasai teknik membaca tulisan arab ini. HARUS!!!
Tekad saya
yang kuat tersebut akhirnya terjawab ketika teman-teman main saya di rumah
mengajak untuk bergabung mengaji di sebuah tempat mengaji, yang mana sekarang guru
ngaji saya tersebut menjadi ketua RW di tempat saya. Dengan tekad sekuat baja,
saya rutin dan rajin sekali mengaji setiap ba’da maghrib sampai isya menjelang.
Dengan bimbingan guru dan terkadang kakak yang sudah pandai mengaji, saya
diajarkan memulai dengan iqro 1. Lanjut ke iqro 2, 3, 4 dan seterusnya sampai
iqro 6. Alhamdulillah ALLAH membenamkan daya tangkap yang cemerlang untuk saya
saat itu sehingga bisa dengan lancar dan cepat menguasai. Memasuki kelas 6 SD
saya sudah bisa membaca Al Qur’an.
Bisa membaca
Al Qur’an saja tidaklah cukup. Urusan hukum-hukum membacanya pun menjadi sangat
penting. Akhirnya ketika kelas 1 SMP, saya pindah mengaji karena ajakan teman.
Semangat mengaji saya masih sangat tinggi yang dibuktikan dengan hampir tidak
pernah bolos mengaji walaupun pengajian diadakan tepat setelah jam pulang
sekolah. Ketika kelas 1 SMP, saya full masuk siang dan pulang menjelang
maghrib. Sampai rumah biasanya saya langsung bersemangat untuk mengaji.
Di tempat
mengaji yang baru ini, saya diajarkan ilmu baru, yaitu ilmu tajwid yang
merupakan ilmu hukum-hukum dalam membaca Al Qur’an. Beberapa hukum nun mati,
mad, dan lain sebagainya diajarkan dengan baik menggunakan metode “bernyanyi”.
Dengan metode inilah saya bisa menangkap ilmu ini dengan cukup cepat.
Alhamdulillah setiap saya membaca AL Qur’an saya jarang sekali mendapat revisi
terkait ilmu tajwidnya. Oiya asal teman-teman tahu, beberapa liriknya saya masih
hafal sampai sekarang lho! *penting... hehehe
Ok, cukup
ceritanya ya. Intinya adalah kemauan dan motivasi saya mengaji (baca tulis Al Qur’an) datang
dari diri saya sendiri, bukan suruhan atau paksaan orang tua ataupun teman. Semangat yang membumbung saat itu membuat saya
berhasil menguasai baca tulis Al Qur’an yang walaupun saya sadari masih banyak
sekali kekurangan dalam diri saya. Sampai sekarang pun masih terus belajar,
harus terus diasah, dan yang lebih penting lagi untuk ukuran saat ini, bukan
hanya sekedar membacanya, tapi faham terjemahannya. Dan tentunya mempraktikan
perintah yang ada di dalamnya dan menjauhi larangan yang ada di dalamnya adalah
hal yang jauh lebih utama untuk saat ini.
Kemudian, saya berkaca pada kondisi anak-anak sekarang. Beberapa hal saya bangga sekaligus iri manakala mendapati kabar bahwa ada sekumpulan anak-anak yang belum genap 10 tahun sudah hafal Al Qur’an alias hafiz. Subhanallahu sungguh menawan sekali! Tapi di lain pihak, miris juga tatkala mendapati tak sedikit anak-anak yang justru sampai sudah SMA sekalipun belum bisa membaca Al Qur’an. Masya ALLAH.
Ada apakah
dengan fenomena ini? Beberapa anak zaman sekarang lebih bangga ketika mereka
merasa hebat dan jago bermain game.
Mereka merasa lebih keren ketika punya akun hampir di semua sosial media,
membuat mereka merasa lebih eksis. Mereka berhasil dijebak dengan jebakan
syaithan. Sekarang setiap ba’da maghrib di dekat rumah saya sudah nyaris tak
dijumpai anak-anak yang gemar mengaji. Sebaliknya mereka lebih senang pergi ke
warnet bermain game online.
Sungguh
hebat para musuh ALLAH bekerja di zaman sekarang. Mereka mulai merusak semangat
anak-anak sedini mungkin. Teknologi dijadikan sebagai salah satu media yang
sengaja disusupkan dengan tujuan melalaikan peran, fungsi dan tugas anak yang
sebenarnya. Teknologi sengaja dibuat supaya identitas diri anak akan sesuai
dengan apa yang diyakininya dan dilakukan sehari-hari, bukan lagi identitas seorang muslim yang bangga
dengan kitab sucinya.
Tentunya
tantangan masa kini terhadap identitas anak menjadi tanggung jawab bersama dari
orang tua yang hidup di zaman sekarang. Saya meyakini bahwa para musuh ALLAH
akan semakin mencari cara-cara mutakhir untuk merusak moral dan aqidah
anak-anak. Jika orang tua masa kini tidak berusaha memutakhirkan cara
melawannya, maka jangan salahkan anak-anak jika kelak mereka lebih senang
berada di warnet ketimbang di masjid. Jangan salahkan anak-anak jika kelak mereka
lebih senang menabung untuk membeli gadget
dibandingkan dengan membeli buku ilmu pengetahuan. Jangan salahkan anak-anak
juga jika mereka lebih hafal istilah-istilah alay dan bahasa prokem
dibandingkan istilah-istilah dan bahasa Al Qur’an. Naudzubillah…
Karenanya,
masa depan anak-anak akan tergantung dengan bagaimana pola pengasuhan dan
pembimbingan dari orang tua. Jika ingin anak-anak kita kelak pandai membaca Al
Qur’an, maka menjadi harga mati untuk kita sebagai panutan dalam memberikan
contoh. Jika ingin anak-anak kita kelak bangga berhukum pada Al Qur’an, maka
menjadi harga mutlak untuk kita sebagai teladan dalam memberikan contoh. Kalau
bukan kita, siapa lagi? Mari sama-sama belajar untuk membentuk generasi masa
depan yang lebih baik. Aamiin.
Kiranya itu
yang bisa saya share pada kesempatan
pagi ini. saya meyakini bahwa masih banyak anak-anak yang berkeinginan untuk
menjadi pribadi yang lebih baik. Hanya saja mereka tidak tahu wadahnya, tidak
tahu harus disalurkan ke mana. Dan bentuk kepeduliaan saya saat ini baru bisa
dalam bentuk berbagi pola pikir. Terbersit keinginan besar untuk bisa terjun
aktif sebagai penggiat yang fokus mengurus ini. Suatu saat. Insya ALLAH, dan
ini menjadi salah satu harapan terbesar saya di 2014. Semangat!!!
Wassalamu’alaykum...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar