salah satu rute yang
saya gunakan ketika pulang kerja menuju rumah adalah melintasi gang sempit yang
cukup padat menuju stasiun UI. bagi orang depok, tentunya sudah familiar dengan
gang tembus dari jalan margonda menuju stasiun UI ini. lokasinya persis bersebelahan
dengan es pocong yang cukup fenomenal.
gang selebar tidak
sampai 2 meter ini laksana sebuah lorong yang akan memerangkap dalam dunia lain. lorong
tersebut menjadi salah satu akses strategis bagi sesiapa yang dari dan menuju
UI. di sekitar jam 7 malam lorong penuh
sesak dengan mahasiswa UI dan juga pejalan umum yang lalu lalang pulang dari
beraktivitas. di kanan dan kirinya dihiasi oleh para pedagang
pernak-pernik, asesoris handphone,
toko buku, souvenir kampus, kaca mata, sabuk, bahkan hingga cilok. saya membayangkan seperti masuk ke dalam lorong pasar-pasar di timur tengah yang pernah ditonton di
televisi atau mungkin seperti china town-nya singapura kw tujuh. hehehe.
sesuatu yang
sebetulnya menarik bagi saya adalah ketika sampai di ujung lorong tersebut.
sekumpulan musisi instrumental siap menghibur para manusia sibuk yang berjalan
dengan kecepatan seperti cheetah. mereka
menggesek biola dan cello, serta memetik gitar. dua kali lewat situ, saya
disambut dengan lagu yang mengingatkan saya pada masa lalu. harmoni dan seolah
memantulkan kembali beberapa kepingan memori tentang keluarga. kontan sebagai
seorang nan melankolis, merasakan hal tersebut membuat saya haru dan hanyut
dalam nostalgia yang tak berkesudahan.
pemandangan berikutnya
membuat saya sendu dan cukup bersedih hati. setelah belok dari ujung lorong
tersebut, mata ini seolah tak percaya dihadapkan pada (maaf) beberapa tunawisma
yang tengah mengais rupiah di antara reruntuhan bekas stasiun yang gelap dan
kadang berisik dengan suara kereta lewat. yang kerap saya jumpai adalah seorang
ibu tua dengan dua anaknya yang sudah tertidur (mungkin) pulas (tetapi sebetulnya)
penuh dengan gejolak bathin. miris sekali di balik bangunan apartemen yang
menjulang gagah terdapat fenomena macam ini.
setelah melewati itu,
kaki akan digiring menuju tembok pintu masuk menuju UI dengan syarat menyebrangi
rel terlebih dahulu. sampai akhirnya perjalanan saya akan sampai di halteu
stasiun UI dan bersiap untuk pulang menuju rumah dengan 3 alternatif (jasa
ojeg, dijemput istri, atau naik bis kuning yang dilanjut berjalan kaki).
sungguh perjalanan
yang hanya sekitar 200 meter ini begitu sarat makna. dinamika hidup kental
terasa di dalamnya. tentang kesenjangan ekonomi, tentang pendidikan yang (harapannya)
mendidik, tentang manajemen transportasi, tentang pembangunan dan bisnis
properti yang (mestinya) beretika, tentang seni yang tak terfasilitasi, dan
juga tentang lalu lalang orang-orang yang (mungkin) sudah kebal dengan semua
yang ada dan mereka lewati setiap hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar