Halo semua...
Sudah lama saya tidak
menulis yang cukup berbobot dan panjang. Sekalinya sedang terpikir ide, ada saja kendala
untuk menuangkannya di dalam blog kesayangan ini, jadinya suka menguap dan
lupa. Hehehe alasan dan pemilihan kata yang dibuat-buat untuk memperumit sebuah
istilah bernama “malas”.
Nah, mumpung malam ini
masih terjaga dan belum tidur, saya langsung cus saja membuka website favorit
versi saya, yaitu www.kawancerita.blogspot.com.
Hahaha ya iyalah favorit secara isinya adalah hasil telaah dan tuang yang ada
dalam benak dan fikir. Berharap ada juga pembaca favorit yang suka diam-diam
membaca postingan saya. Hahaha over confidence :p
Ok, cukup dua paragraf
saja pembukaannya. Malam ini, setelah pagi membaca kicauan seorang teman
tentang direct feedback, dan juga di
kantor sedang musim feedback-feedback-an
(hahaha bukan berarti feedback
bohongan ya), saya jadi ingin membahas mengenai sisi lain sebuah feedback atau
dalam bahasa indonesia disebut umpan balik.
Dalam kaca mata saya,
sebuah mekanisme bernama umpan balik, adalah sebuah hal yang penting. Cara
memberikan umpan balik ini ada 2 macam, yaitu diutarakan secara langsung, dan
ada yang tidak langsung. Yang kedua yang saya sebut banyak lagi ragamnya. Bisa via
surat terbuka, surat tertutup (pribadi), ocehan di blog, kicauan di twitter,
postingan di instagram, tulisan di artikel atau keluhan pelanggan via surel. Hohoho
banyak nian.
Tujuan dari pemberian
umpan balik adalah untuk meanggapi dari adanya sebuah rangsangan. Misal seorang
A yang bersikap x, akan memberikan efek terhadap B, maka pihak B bisa
memberikan tanggapan atas efek yang dirasakan dengan adanya sikap x tersebut kepada
pihak A. Gimana jelas kan? Semoga jelas ya, kalau belum jelas, maka saya akan
berikan umpan balik lho… Hehehe.
Dengan pemberian umpan
balik ini, si penerima akan balik merespon. Respon-nya bisa positif yang
artinya menerima, tapi bisa juga negatif, belum mau menerima atau bahkan
menolak dan memaki. Bisa jadi lho! Jika umpan balik ini disampaikan tidak
langsung, maka efeknya mungkin tidak terlalu berasa, tapi jika umpan balik
diutarakan langsung, kita bisa melihat perubahan apa yang terjadi pada si penerima
tersebut. Entah senyum, tertawa, marah, angkat alis, tinjuan mendarat di hidung
atau justru pelukan yang bersarang penuh kehangatan. Semua masih sangat mungkin
terjadi.
Adanya efek tidak
menyenangkan dari sebuah mekanisme umpan balik ini, menjadikan banyak orang
merasa sulit untuk memberikannya. Khawatir si penerima akan marah, sehingga
akhirnya memilih untuk tidak jadi mengutarakan dan membiarkannya mendendam di
hati (Naudzubillah). Ada pula yang sebaliknya terlalu berani memberikan umpan
balik tanpa memperhatikan perasaan si penerima. Hayo ngaku ada yang beginikah? Kasian
lho si penerima bisa sampai tersayat-sayat dan ter-jleb-jleb hati dan
perasaannya, apalagi kalau dia masih jomblo. #eh. Hahaha lebay mulai salah
fokus.
Seperti kata Rhoma
Irama baiknya yang sedang-sedang saja. Sewajarnya dan semenawan mungkin. Berikan
umpan balik sesuai dengan yang mampu dan bisa disampaikan. Jangan takut jika
yang disampaikan sekiranya benar dan bisa membuat si penerima menjadi lebih
baik, dan sebaliknya jangan bersungut-sungut sehingga si penerima justru akan
membentuk benteng pertahanan. Yang sedang-sedang saja. Itu rumusnya!
Begini. Saya lihat,
sayangnya ada stereotype untuk kultur
ketimuran yang melekat di Indonesia. Kesopanan dan kesungkanan masih terjaga
kental sehingga hal ini turut mempengaruhi ketakutan seseorang dalam memberikan
umpan balik. “Takut menyinggung”. Itu kalimat klise yang acapkali muncul. Tidak
dapat disalahkan, tapi apakah bisa dibenarkan juga? Tergantung sudut pandang.
Kembalikan kepada
tujuan memberikan umpan balik. Menurut saya, selama umpan balik diniati dengan
tulus untuk membuat seseorang menjadi lebih baik, maka menjadi sesuatu yang
baik apabila umpan balik itu justru disampaikan, tapi jika akan lebih banyak
mudharatnya, baiknya dihindar. Nah, sekarang tetapkan terlebih dahulu, apa
niatnya? Jika tulus dan untuk kebaikan, ayo jangan ragu untuk memberikannya :) Kalau ragu, maka informasi yang sampai dari
proses umpan balik itu bisa jadi nanggung dan terkesan annoying.
Saya akui bahwa saya pun
terkadang masih memilih berhati-hati dalam menyusun kata, takut menyinggung,
dan sebisa mungkin isinya bermuatan kedamaian. Haish apa sih? Tapi celakanya,
jika yang ingin disampaikan justru dibungkus dengan yang baik-baik saja, bahasa
yang terlalu manis dan takut menyinggung, maka informasi penting yang kita
targetkan bisa diresapi dan mengena pada si penerima, malah menjadi sebaliknya.
Ngambang dan tak terarah. Berbelit-belit tak tahu menuju ke mana.
Mempelajari ini,
belakangan ini saya berusaha untuk mencoba bijak dalam memberikan umpan balik
kepada orang lain. Saya berkeyakinan bahwa jika ada orang atau pihak yang
meminta umpan balik, maka orang tersebut sudah menaruh rasa hormat dan percaya,
sehingga ia mengharapkan akan diberikan masukan yang bisa semakin
mencemerlangkan dirinya. Berangkat dari keyakinan inilah, maka jika sekiranya
ada masukan yang saya pikir itu memang rasional dan prinsipil untuk
disampaikan, saya akan menyampaikannya. Urusan perasaan si penerima, saya
nomorduakan. Hohoho…
Saya mencoba untuk
mengambil sisi positif dari memberikan umpan balik yang bermanfaat, yaitu jika
ternyata apa yang disampaikan benar dan menjadi perbaikan bagi orang lain, maka
alangkah senangnya hati bisa menjadi perantara dalam membuat orang semakin baik
dan bernilai. Tapi jika ternyata salah, maka itu adalah risiko, saya tidak ragu
dan malu jika harus meminta maaf. Manusia gudangnya salah, bro :) cukup mintaa maaf dan evaluasi diri.
Jikapun setelah penyampaian
umpan balik ini akhirnya malah meruncing dan menghadirkan konflik, maka
sekarang saya sudah punya jawabannya. Saya menilai bahwa sesekali konflik itu
diperlukan dan penting. Berkat konflik-lah kita bisa menjadi belajar dan saling
menghargai. Dan itu adalah sebuah dinamika. Konflik, laiknya sebuah singgungan
dari dua benda, akan menghasilkan gaya gesek. Tapi gaya gesek di sini, tidak
selamanya negatif. Jika pada mesin, akan membuat mesin tersebut aus, tapi jika
itu terjadi pada biola? Yang dihasilkan justru alunan melodi indah nan merdu. Dan
saya tidak mau membuang energi untuk menganggap sebuah gesekan sebagai penyebab
ausnya mesin. Tak mau menganggap bahwa konflik selamanya akan mendatangkan
perpecahan.
Jika semua orang
akhirnya takut terhadap adanya konflik, maka sistem akan menjadi kacau. Semua akan
terlihat serba baik dan bagus. Prinsip “asal bapak senang” akan sangat menjamur
dan menjadi nyawa dari sebuah sistem, yang pada giliran berikutnya hanya akan
menjadi sebuah kedok. Bisa jadi kondisi sebenarnya justru bobrok, terlihat di
dalam terselaputi oleh perasaan dan jiwa-jiwa yang takut berkonflik. Laksana
dinamit yang akan meledak dengan hanya menunggu hitungan waktu.
Semoga kita diberikan
keluwesan dalam berbijaksana menuturkan umpan balik yang sesuai dan tepat
sasaran. Tidak dibungkus topeng, dan juga tidak dikompori emosi. Apa adanya. Aamiin.
Terima kasih sudah mau
menyimak, jika ada umpan balik dari tulisan ini, saya dengan senang hati
menerimanya untuk bertemu langsung atau mengirimkan komentar di bawah, atau
juga bisa ke alamat surel: hadisu_euy@yahoo.com
Selamat malam :)