Tulisan saya kali ini diberi judul “terlalu merekat”. Hehehe bukan mau bicara mengenai hubungan
antara perangko dengan amplop ataupun persahabatan dua sahabat karib. Hanya sebuah
catatan kecil sebagai pengingat untuk diri sendiri yang sering galau menapaki
dunia ini.
Sesuatu disebut
merekat jika ada dua komponen. Kombinasinya adalah “siapa merekat pada siapa”; “apa
merekat pada apa”, “siapa merekat pada apa”; atau yang terakhir “apa merekat
pada siapa”. Salah satu dari dua komponen tersebut mustilah memiliki suatu daya
tarik yang menyebabkan salah satunya tertarik, menempel dan akhirnya merekat.
Sebagai contoh amplop menarik perekat yang terdapat pada perangko dibantu dengan
gaya dari manusia yang menempelkannya. Seorang suami tertarik pada istrinya
karena ada daya tarik yang mempesona hingga membuatnya selalu menempel dan
merekat dengan sang istri.
Melihat fenomena itu,
saya jadi menoleh ke dalam diri. Menyebutkan satu per satu diri ini telah merekat
pada siapa saja dan apa saja. Yang berhasil saya sebut, yaitu: ALLAH, orang
tua, kakak dan adik kandung, saudara seiman, istri, sepeda motor, pekerjaan
dengan jabatannya, uang yang dimiliki, teman-teman yang baik dan perhatian, beberapa
prestasi yang dimiliki, beberapa pujian yang masih menempel dalam benak, dan foto-foto
kenangan perjalanan hidup. Sementara itu yang berhasil saya ingat.
Ok, berhenti sejenak. Mari
perhatikan sejenak apa yang saya tulis di paragraf atas. Mostly apa dan siapa saja yang saya sebut adalah unsur-unsur yang
ada di dalam dunia ini. Sebagaimana kita ketahui bahwa dunia bersifat
sementara. Orang tua, kakak, adik, istri, teman akan ada waktunya meninggal.
Pekerjaan dan jabatan akan ada masanya copot, uang dan harta lainnya ada
waktunya akan lenyap dan tak lagi bernilai, pujian ada kalanya menjerusmuskan
pada lembah kenistaan jika tak pandai beristighfar, kenangan hidup meski nyata
dan pernah terjadi, tetap saja sebuah hal yang pernah dilewati. Semuanya
sementara dan sesuatu yang hanya dititipkan atau dihadirkan di depan muka saya
saja untuk sekedar menghiasi perjalanan menuju kampung akhirat sebagai tempat
yang kekal.
Yang tersisa adalah
ALLAH dan prestasi. ALLAH yang pasti bersifat “kekal”, sedangkan prestasi? Saya
meyakini ada prestasi yang sifatnya akan tetap bernilai di sisi ALLAH walaupun
jasad sudah tak lagi di dunia, dan ada juga prestasi yang akan luntur, memudar
dan hanya diingat manusia setelah meninggal. Prestasi yang akan terus bernilai
adalah yang dikerjakan dalam rangka men-dzahir-kan
perwujudan islam di muka bumi, misalnya seseorang yang berdakwah untuk
mengingatkan manusia pada ketauhidan ALLAH.
Dari hasil perhentian
sejenak tersebut, sungguh,,, saya beristigfar. Betapa banyak yang merekat
dengan jasad dan jiwa ini adalah hal-hal keduniawian. Yang mana kita semua yang
mengaku beriman, yakin akan rukun iman ke-5 akan adanya hari akhir. Dunia hanya
sebongkah unsur atau komponen materi yang setiap hari bersinggungan, menempel,
merekat dengan kehidupan dan ditujukan sebagai tempat dan media untuk mencari
rahmat di dalamnya, untuk beribadah pada penciptanya, untuk menjadi pemakmurnya.
Namun, sayang sekali
tak sedikit dari sesiapa yang akhirnya bersinggungan, menempel dan merekat pada
dunia ini, jadinya malah terperdaya akan elok dan jelitanya. Keindahannya membius
diri untuk mau terus mengejarnya hingga akhirnya muncul istilah “terlalu merekat”.
Segala sesuatunya hanya ditujukan untuk duniawi saja. Bekerja untuk mencari
kesenangan dunia saja. Naudzubillah.
Wajar saja jika sampai
ada yang terlampau merekat, karena memang ALLAH telah membuat dunia ini indah. Sangat
indah jika hanya dilihat oleh kedua mata kita, tapi tidak selamanya indah jika
mau menyertakan akal dalam melihatnya.
“Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”. (QS: Ali Imran Ayat: 14)
Astaghfirullahal’adzim.
Sungguh merugi bagi saya atau sesiapa saja yang terlalu merekat pada
unsur-unsur dunia. Keindahannya adalah tipuan belaka. Karenanya, janganlah
jadikan kecintaan kita pada unsur-unsur tersebut melebihi kecintaan kita pada
ALLAH dan Rasul-Nya. Cinta boleh, merekat boleh, tapi sewajarnya saja. Justru bagaimana
caranya unsur-unsur ini menunjang seorang hamba untuk bisa merekat sepenuhnya
dan utuh pada ALLAH.
“Katakanlah:
"jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum
keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari
Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang fasik.” (QS: At-Taubah Ayat: 24)
Ya,,, ALLAH adalah
sesuatu yang seharusnya merekat setiap saat. Perwujudan merekat pada ALLAH
adalah senantiasa bertakwa pada-Nya. Berada dalam sesuatu yang diridhoi-Nya,
yakni dienul islam dan bagaimana memainkan peran, fungsi, dan tugas selaiknya
apa yang ditetapkan oleh ALLAH. Itu yang diperbolehkan untuk “terlalu merekat”.
Dari sini, akhirnya
saya yang galau ini menjadi tersadarkan bahwa merekat pada apapun selain ALLAH
adalah fitrah manusia, tapi yang benar dengan fitrah tersebut adalah bagaimana
menjadikannya sebagai media perekat pada yang semestinya direkatkan, yakni ALLAH.
Dan saya pun berdo’a, semoga apapun yang saat ini merekat pada diri adalah
sebuah proses perekatan yang sewajarnya saja. Bukan yang “terlalu”, tapi tolong
semoga saya masih tetap diizinkan dan dibiarkan untuk merekat hanya pada satu
hal yang saya yakini, yaitu ALLAH, sampai akhirnya perjalanan hidup saya usai
dan tunai. Aamiin :)
terima kasih banyak sudah mau membaca. semoga bermanfaat...
ditulis di depok, 15 februari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar