Assalamu'alaykum...
Sorry, late post karena semalam tidak ada koneksi internet di kost-an, jadinya saya baru bisa posting tulisan ini, yang sejatinya sudah saya tulis sejak semalam. enjoy!
Baru saja saya pulang dari calon rumah ke-dua saya kelak di
cibitung. Setelah berlelah seharian menyumbangkan tenaga demi membesarkan rumah
tersebut, kini saatnya saya kembali membesarkan diri saya sendiri pula dengan
kegiatan yang saya suka, yang sepertinya belakangan ini saya jadi cukup
keranjingan melakukannya. Apa lagi kalau bukan menulis. Yes! Hehehe.
Sebetulnya setelah pulang sampai kost jam 11 malam ini, tiada pilihan yang lebih nikmat selain meluruskan badan dalam dekapan selimut dan empuknya bantal. Tidur semestinya menjadi pilihan yang secara logika seharusnya dipilih, tetapi kekuatan dahsyat saya untuk menulis mengalahkan keinginan tersebut. Bukannya saya tidak mau memberikan hak istirahat pada tubuh yang lelah, tapi saya merasa bahwa melejitkan potensi diri jauh lebih penting. Insya ALLAH.
Sebetulnya setelah pulang sampai kost jam 11 malam ini, tiada pilihan yang lebih nikmat selain meluruskan badan dalam dekapan selimut dan empuknya bantal. Tidur semestinya menjadi pilihan yang secara logika seharusnya dipilih, tetapi kekuatan dahsyat saya untuk menulis mengalahkan keinginan tersebut. Bukannya saya tidak mau memberikan hak istirahat pada tubuh yang lelah, tapi saya merasa bahwa melejitkan potensi diri jauh lebih penting. Insya ALLAH.
Baiklah, menjelang dini hari ini seperti biasa saya berkutat
kembali dengan laptop untuk menuliskan suatu hal yang ingin saya sharingkan.
Yaitu mengenai pilihan. Tentang memilih.
Semua orang sepertinya sudah sangat mengetahui bahwa hidup
adalah sebuah pilihan. Rasa-rasanya jargon ini sudah sangat melekat
dalam kehidupan sehari-hari. Namun, faktanya menunjukkan bahwa acapakali kita
dibuat bingung dengan pilihan-pilihan yang hadir di depan kita. Kita menjadi
tak tahu harus memutuskan apa dengan pilihan yang menghampiri. Menurut saya ini
adalah gejala yang banyak dialami oleh kebanyakan orang dan sumber dari gejala
ini dikarenakan kurangnya ilmu.
Bayangkan! Bayangkan kawan-kawan tengah menelusuri hutan di
malam hari dengan tujuan hendak mendaki gunung. Di tengah dinginnya malam dan
juga gelapnya langit, muncul rasa takut pada diri kawan-kawan sekalian akan bayang-bayang
dan halusinasi yang dibuat-buat sendiri. Perjalanan terasa sudah sangat lama
sekali tetapi mengapa puncak belum juga terlihat. Upaya membangkitkan semangat
dengan sugesti-sugesti positif pun sudah dilakukan tetapi tak kunjung berhasil.
Namun, kawan-kawan terus berjalan dan berjalan tanpa lelah dan fokus yang
penting bisa segera sampai di puncak dan bisa menikmati keindahan matahari
terbit di atas sana. Indah nian pemandangan yang tergambar dalam benak
kawan-kawan.
Sampai akhirnya kawan-kawan melihat sebuah papan petunjuk yang bertuliskan: puncak gunung (7 km). Apa yang akan kawan-kawan putuskan ketika melihat itu? Apakah kawan-kawan berpikir untuk menyerah setelah mengetahui bahwa perjalanan masih sangat jauh dan memutuskan untuk kembali? Atau terus fokus berjalan dengan bekal pengetahuan kawan-kawan bahwa di puncak sana tersaji pemandangan nan megah?
Sampai akhirnya kawan-kawan melihat sebuah papan petunjuk yang bertuliskan: puncak gunung (7 km). Apa yang akan kawan-kawan putuskan ketika melihat itu? Apakah kawan-kawan berpikir untuk menyerah setelah mengetahui bahwa perjalanan masih sangat jauh dan memutuskan untuk kembali? Atau terus fokus berjalan dengan bekal pengetahuan kawan-kawan bahwa di puncak sana tersaji pemandangan nan megah?
Saya yakin bahwa kedua pilihan itu sempat berkecamuk tatkala
untuk pertama kalinya melihat papan petunjuk tersebut. Sebagai manusia yang
diberi akal yang kemudian akal tersebut digunakan untuk berilmu, sudah barang
tentu dan wajar adanya bila ada sebagian orang yang memilih kembali pulang dan
sebagian orang yang memilih untuk fokus berjalan. Karena apa? Karena
pengetahuan yang dimilikinya. Ya, orang memutuskan untuk memilih suatu perkara karena
ilmu yang dimilikinya.
Ilmu mengajarkan bahwa jarak 7 km dengan perjalanan kaki di
malam hari yang berudara dingin itu sangat melelahkan, membuat kantuk, dan membuat
badan menggigil walaupun sudah menggunakan jaket. Ilmu juga mengisyaratkan
bahwa istirahat dalam rumah itu memberikan kenyamanan tanpa harus berlelah dan
melawan dingin serta kantuk. Dengan dasar imu inilah, hampir bisa dipastikan orang tersebut akan memilih kembali pulang.
Namun sebaliknya, bagi orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan cara pandang yang
lebih luas seperti indahnya puncak gunung di pagi nanti, mengetahui banyak
tempat istirahat di depan sana yang bisa disinggahi untuk menawar rasa kantuk
dan lelah, tentu akan memilih untuk fokus berjalan demi mengejar keindahan yang
ia ketahui dari akalnya.
Nah, dikarenakan orang sudah tahu ilmunya, maka tentu ilmu itu akan digunakannya sebagai dasar dalam menentukan pilihannya. Benar? Orang yang memiliki ilmu terbatas, hanya berpikir sesaat dan tidak melihat sisi lain dalam kenikmatan mendaki gunung. Begitulah kira-kira perumpamaanya.
Nah, dikarenakan orang sudah tahu ilmunya, maka tentu ilmu itu akan digunakannya sebagai dasar dalam menentukan pilihannya. Benar? Orang yang memiliki ilmu terbatas, hanya berpikir sesaat dan tidak melihat sisi lain dalam kenikmatan mendaki gunung. Begitulah kira-kira perumpamaanya.
Dari ilustrasi tersebut tampak jelas bukan bahwa segala
pilihan itu sudah pasti akan melibatkan ilmu dalam memutuskannya? Semakin
banyak ilmu pengetahuan yang dimilikinya maka semakin bijak pula keputusan yang
akan diambilnya. Idealnya begitu :)
Ilmu yang menjadi pegangan kita dalam menentukan pilihan
tentunya harus berupa ilmu yang sudah teruji keshahihannya. Yang sudah jelas faktanya. Bukan berupa ilmu
pendugaan atau ilmu asumsi. Misalnya jika melewati singa lapar dengan jarak 10
meter darinya, secara logika yang hampir nyaris benar adalah kita akan diterkam
dan dikoyak olehnya. Jangan kita berspekulasi dan menggunakan dugaan atau
asumsi bahwa kita bia tetap saja berjalan di dekatnya karena bisa jadi singa
tersebut tak bisa berlari kencang karena saking laparnya. Bisa jadi sih, tapi
kemungkinan tersebut sangat kecil. Jadi sebaiknya jangan! Itu artinya
kawan-kawan berusaha untuk mendzolimi diri sendiri dengan ilmu pendugaan tadi. Hehehe.
Oleh karena itu, ketika kita memutuskan sesuatu pilihan yang
datang, upayakan untuk mencari terlebih dahulu fakta yang jelas akan sebuah
sebab akibat yang akan terjadi dari kedua pilihan tersebut. Baru jika semua
fakta sudah dibeberkan, bisa kita gunakan asumsi dan kemungkinan yang terjadi.
Karena kemungkinan-kemungkinan itu tetap masih saja bisa terjadi karena adanya
faktor x. yaitu faktor ke-MahaTahu-an ALLAH atas apa yang terbaik untuk
makhluk-Nya.
Saya punya sedikit cerita. Saya baru saja dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama
saya pikir itu baik. Sebuah kesempatan yang tidak datang pada sembarang orang.
Namun, apa yang menjadi prinsip dan pengetahuan yang saya punya akhirnya
membuat saya memutuskan sesuatu setelah berpikir matang. Apa artinya? Saya tidak
sembarang memutuskan, tetapi berpikir berdasarkan ilmu, baru kemudian
memberikan keputusan. Perkara apakah keputusan saya benar atau tidak, itu
kembali kepada saya. Bagi saya pribadi, keputusan tersebut benar, karena
berdasarkan apa yang saya yakini benar. Namun, apakah itu yang terbaik untuk
saya? Saya selalu yakin akan 1 ayat berikut:
وَعَسَىٰ أَنْ
تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ
لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ
تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ
لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ
وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Boleh jadi kamu
membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu
menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu
tidak mengetahui (Q.S. Al Baqarah, 2 : 216)
Dengan pegangan ayat di atas, saya selalu yakin bahwa
kode-kode yang ALLAH berikan kepada setiap manusia melalui tuntunan dalam
membuat keputusan yang dibuat, terkadang akan tersingkap secara tidak langsung.
Tidak pada saat itu juga. Itulah uniknya cara kerja ALLAH. Sesuatu yang kita berpikir
bahwa keputusan yang kita anggap salah karena terbukti malah berdampak tidak
baik, bisa jadi karena kita belum mengetahui pesan di balik itu. Kita belum tahu
pesan dibalik ketika ALLAH menuntun kita untuk memutuskan sesuatu yang kita
anggap salah tersebut.
Saya meyakini lebih bahwa pasti ada maksud di balik setiap hal yang akhirnya kita putuskan, yaitu dampak secara tidak langsung. Yang mungkin baru kita ketahui belakangan. Baru dikabari ALLAH setelahnya. Yang kemudian biasanya kita akan berkata: “owh ini toh maksud ALLAH di balik bla bla bla…” Itu seperti sebuah SMS yang pending karena tidak ada sinyal. Baru sampai setelah beberapa lama. Hehehe. Cuma kadang manusia saja yang memang tidak sabaran. Maafkan ya ALLAH. Percayalah ketika kita dituntun untuk memutuskan hal tersebut, pasti ada sesuatu di balik itu semua. Dan sekali lagi saya selalu meyakini itu :)
Saya meyakini lebih bahwa pasti ada maksud di balik setiap hal yang akhirnya kita putuskan, yaitu dampak secara tidak langsung. Yang mungkin baru kita ketahui belakangan. Baru dikabari ALLAH setelahnya. Yang kemudian biasanya kita akan berkata: “owh ini toh maksud ALLAH di balik bla bla bla…” Itu seperti sebuah SMS yang pending karena tidak ada sinyal. Baru sampai setelah beberapa lama. Hehehe. Cuma kadang manusia saja yang memang tidak sabaran. Maafkan ya ALLAH. Percayalah ketika kita dituntun untuk memutuskan hal tersebut, pasti ada sesuatu di balik itu semua. Dan sekali lagi saya selalu meyakini itu :)
Well, akhirnya
kembali lagi kepada jargon awal bahwa hidup itu adalah pilihan, silakan
tentukan pilihan hidup kawan-kawan! Jika kawan-kawan meyakini bahwa kehidupan yang
sedang dilalui sekarang ini ibaratnya sebuah perjalanan, maka tentunya hal
pertama yang harus dipilih adalah jalurnya. Jalannya yang harus dipilih pertama
kali. Apakah jalan yang benar atau jalan yang salah. Apakah jalan yang lurus
atau jalan yang bengkok. Perkara cara berjalan biarlah itu menjadi urusan lain.
Semampunya kita. Sanggupnya merangkak, ya merangkaklah. Mampunya berjalan, ya
berjalanlah. Kuasanya berlari, ya berlarilah. Yang penting dalam jalan yang
benar. Jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang telah diberi nikmat
oleh ALLAH, bukan jalan orang-orang yang dimurkai oleh ALLAH, juga bukan jalan
orang -rang yang sesat seperti yang selalu kita baca setidaknya sebanyak 17
kali dalam sehari. Tahu dong?
Akhirnya mari sama-sama adzamkan dalan hati bahwa:
“saya akan memutuskan
suatu pilihan berdasarkan ilmu dan prinsip yang saya yakini kebenarannya.
Hasilnya akan seperti apa, saya yakini pula itu yang terbaik untuk saya. ALLAH
pasti miliki rencana yang jauh lebih indah untuk mendewasakan saya, untuk
menghebatkan saya, untuk membuat saya semakin matang dalam memutuskan sebuah
pilihan.”
Selamat memilih!
Wa'alaykumussalam...