menjadi orang yang mudah gemes bin kesel dengan sesuatu yang tidak sesuai dengan hati bukanlah perkara yang mudah. seringkali saya komat kamit sendiri, komplain pada apa yang dirasa tidak sepantasnya demikian, bahkan sering disebut tukang komentar (apapun itu).
terkait dengan itu, dua hari yang lalu ketika saya mengantarkan istri ke dokter, kegemesan saya sempat naik pada kadar "agak kesel". bahkan saya sempat sedikit menegur petugas yang tengah berjaga siang itu. apa pasal?
bermula dari istri saya yang mendekati sekumpulan petugas--yang sebagian tengah duduk-duduk dan sebagian lagi berdiri tanpa aktivitas--di meja penerimaan pasien untuk bertanya satu hal. ingat ya: sekumpulan petugas. tepatnya yang saya lihat adalah ada 6 orang petugas jaga di 1 meja yang saya perhatikan sebetulnya kegiatan di situ bisa dikerjakan oleh 3 orang saja, yaitu mengukur tensi, menimbang pasien dan mencatat administrasi.
istri saya sebetulnya hanya ingin menanyakan urutan pasien yang sudah diperiksa sang dokter. lantas si petugas menjawab: "ketuk saja pintu ruangan dokternya, bu. silakan ditanyakan langsung." karena merasa kagok kali ya, alih-alih istri saya beneran mengetuk, yang ada dia kembali ke tempat duduk semula menemui saya yang tengah asyik membaca. sejurus kemudian ia melaporkan jawaban si petugas kepada saya.
mendengar laporan seperti itu, saya segera bangkit. buku yang tengah dibaca, saya tutup dan saya berjalan ke arah meja petugas. "maaf, mbak dokter xxx saat ini sedang memeriksa pasien nomer berapa ya?" tanya saya dengan wajah ramah. si petugas menyimak pertanyaan saya, dan tampaknya ia tahu bahwa saya adalah suami dari perempuan yang belum semenit lalu bertanya padanya. kemudian si petugas pun menjawab hal yang sama dengan apa yang disampaikan kepada istri saya, padahal jelas sekali saat saya menghampiri ke meja tersebut, sedang tidak ada kegiatan apapun alias idle. hanya mengobrol dengan rekan sejawatnya.
kemudian saya dengan air muka yang mulai terlihat kurang sabar: "mbak, minta tolong untuk mbak yang menanyakan ke dalam, kalo saya takut kurang sopan. kalo mbak kan sama-sama petugas rumah sakit." petugas perempuan tersebut menjawab: "ok, ditunggu aja ya" dengan muka yang terlihat sedikit bete. dan sampai saya duduk kembali ke tempat saya semula, saya terus memperhatikan dan sengaja memberikan intensi khusus untuk melihat apa yang akan dilakukan oleh si petugas tersebut. nihil! saya tak melihat ia bergerak berjalan ke arah ruangan dokter. alih-alih itu, kehadiran pasien-pasien baru membuat dia "terlupa" dengan permintaan saya. huft.
baiklah, bisa jadi kondisi sebetulnya adalah saya salah sangka saat itu. saya terlalu berpikir negatif padanya. tapi karena gemes melihat sesuatu yang sederhana tapi tidak dikerjakan olehnya, saya jadi ngomel-ngomel sendiri sambil membaca buku. istri saya berusaha menenangkan, tapi saya malah ceramah panjang lebar. hahaha. istri saya mulai tidak suka. dan kami pun terdiam hingga akhirnya nama istri saya dipanggil setelah 10 menit kemudian. alhamdulillah.
bukan ingin mempermasalahkan hal sederhana seperti itu, tapi sebagai seorang karyawan yang sedikit mengerti tentang teori service excellent dan juga lean manufacturing, saya menangkap 2 hal pada kasus tersebut: pertama adalah pelayanan yang tidak berorientasi pada kemudahan konsumen dan yang kedua adalah saya melihat "waste" di situ. banyak SDM tapi kurang termanfaatkan secara efisien. lebih banyak nuansa ngobrolnya.
karena levelnya masih belum terlalu "hot", saya tidak sampai kepada tahap komplain. padahal rasa gemes sudah sampai di ubun-ubun. istri saya masih saja berusaha menenangkan saya yang merasakan langsung penyakit komplain saya yang kambuh tersebut. *usap dada, beristighfar dan kembali membaca buku walau masih merasa ada yang mengganjal di pikiran. belum plong.
dari pengalaman itu, saya jadi bisa berempati kepada pak ahok yang konon katanya sering marah-marah. saya yakin ia berlaku begitu bukan tanpa alasan, tapi didasari karena rasa gemes dengan kinerja dan kondisi yang ada. gemesnya sudah sampai di ubun-ubun. mungkin karena kinerja bawahannya yang masih belum sesuai ekspektasinya. atau kondisi-kondisi tertentu yang memang dinilai tidak masuk akal, sehingga perlu dikritisi. di situlah saya melihat bahwa sebetulnya perasaan gemes itu dikarenakan adanya proses berpikir dan merasa perlu untuk mengkritisi sesuatu.
ya, terlepas ada baik buruknya, tapi yang pasti gemes pada sesuatu yang tidak sesuai itu sebetulnya bikin capek hati. kadang diperlukan embun penyegar yang bisa mengademkan ubun-ubun. ingat kembali pada prinsip bahwa tak ada gading yang tak retak. tak ada yang sempurna dalam hidup ini kecuali ALLAH, sehingga ketika kita melihat ketidaksesuaian, diperlukan esktra sabar. memang tak salah bila justru menjadi gemes dan akhirnya kritis, tapi jangan lupakan untuk fokus juga pada apa yang kira-kira bisa kita lakukan untuk memperbaiki kondisi tersebut. bukan hanya sebatas rasa gemesnya saja tanpa aksi. sepakat?
baiklah sudah malam... sudah dulu ya, lagi gemes nih! hehehe :)
terkait dengan itu, dua hari yang lalu ketika saya mengantarkan istri ke dokter, kegemesan saya sempat naik pada kadar "agak kesel". bahkan saya sempat sedikit menegur petugas yang tengah berjaga siang itu. apa pasal?
bermula dari istri saya yang mendekati sekumpulan petugas--yang sebagian tengah duduk-duduk dan sebagian lagi berdiri tanpa aktivitas--di meja penerimaan pasien untuk bertanya satu hal. ingat ya: sekumpulan petugas. tepatnya yang saya lihat adalah ada 6 orang petugas jaga di 1 meja yang saya perhatikan sebetulnya kegiatan di situ bisa dikerjakan oleh 3 orang saja, yaitu mengukur tensi, menimbang pasien dan mencatat administrasi.
istri saya sebetulnya hanya ingin menanyakan urutan pasien yang sudah diperiksa sang dokter. lantas si petugas menjawab: "ketuk saja pintu ruangan dokternya, bu. silakan ditanyakan langsung." karena merasa kagok kali ya, alih-alih istri saya beneran mengetuk, yang ada dia kembali ke tempat duduk semula menemui saya yang tengah asyik membaca. sejurus kemudian ia melaporkan jawaban si petugas kepada saya.
mendengar laporan seperti itu, saya segera bangkit. buku yang tengah dibaca, saya tutup dan saya berjalan ke arah meja petugas. "maaf, mbak dokter xxx saat ini sedang memeriksa pasien nomer berapa ya?" tanya saya dengan wajah ramah. si petugas menyimak pertanyaan saya, dan tampaknya ia tahu bahwa saya adalah suami dari perempuan yang belum semenit lalu bertanya padanya. kemudian si petugas pun menjawab hal yang sama dengan apa yang disampaikan kepada istri saya, padahal jelas sekali saat saya menghampiri ke meja tersebut, sedang tidak ada kegiatan apapun alias idle. hanya mengobrol dengan rekan sejawatnya.
kemudian saya dengan air muka yang mulai terlihat kurang sabar: "mbak, minta tolong untuk mbak yang menanyakan ke dalam, kalo saya takut kurang sopan. kalo mbak kan sama-sama petugas rumah sakit." petugas perempuan tersebut menjawab: "ok, ditunggu aja ya" dengan muka yang terlihat sedikit bete. dan sampai saya duduk kembali ke tempat saya semula, saya terus memperhatikan dan sengaja memberikan intensi khusus untuk melihat apa yang akan dilakukan oleh si petugas tersebut. nihil! saya tak melihat ia bergerak berjalan ke arah ruangan dokter. alih-alih itu, kehadiran pasien-pasien baru membuat dia "terlupa" dengan permintaan saya. huft.
baiklah, bisa jadi kondisi sebetulnya adalah saya salah sangka saat itu. saya terlalu berpikir negatif padanya. tapi karena gemes melihat sesuatu yang sederhana tapi tidak dikerjakan olehnya, saya jadi ngomel-ngomel sendiri sambil membaca buku. istri saya berusaha menenangkan, tapi saya malah ceramah panjang lebar. hahaha. istri saya mulai tidak suka. dan kami pun terdiam hingga akhirnya nama istri saya dipanggil setelah 10 menit kemudian. alhamdulillah.
bukan ingin mempermasalahkan hal sederhana seperti itu, tapi sebagai seorang karyawan yang sedikit mengerti tentang teori service excellent dan juga lean manufacturing, saya menangkap 2 hal pada kasus tersebut: pertama adalah pelayanan yang tidak berorientasi pada kemudahan konsumen dan yang kedua adalah saya melihat "waste" di situ. banyak SDM tapi kurang termanfaatkan secara efisien. lebih banyak nuansa ngobrolnya.
karena levelnya masih belum terlalu "hot", saya tidak sampai kepada tahap komplain. padahal rasa gemes sudah sampai di ubun-ubun. istri saya masih saja berusaha menenangkan saya yang merasakan langsung penyakit komplain saya yang kambuh tersebut. *usap dada, beristighfar dan kembali membaca buku walau masih merasa ada yang mengganjal di pikiran. belum plong.
dari pengalaman itu, saya jadi bisa berempati kepada pak ahok yang konon katanya sering marah-marah. saya yakin ia berlaku begitu bukan tanpa alasan, tapi didasari karena rasa gemes dengan kinerja dan kondisi yang ada. gemesnya sudah sampai di ubun-ubun. mungkin karena kinerja bawahannya yang masih belum sesuai ekspektasinya. atau kondisi-kondisi tertentu yang memang dinilai tidak masuk akal, sehingga perlu dikritisi. di situlah saya melihat bahwa sebetulnya perasaan gemes itu dikarenakan adanya proses berpikir dan merasa perlu untuk mengkritisi sesuatu.
ya, terlepas ada baik buruknya, tapi yang pasti gemes pada sesuatu yang tidak sesuai itu sebetulnya bikin capek hati. kadang diperlukan embun penyegar yang bisa mengademkan ubun-ubun. ingat kembali pada prinsip bahwa tak ada gading yang tak retak. tak ada yang sempurna dalam hidup ini kecuali ALLAH, sehingga ketika kita melihat ketidaksesuaian, diperlukan esktra sabar. memang tak salah bila justru menjadi gemes dan akhirnya kritis, tapi jangan lupakan untuk fokus juga pada apa yang kira-kira bisa kita lakukan untuk memperbaiki kondisi tersebut. bukan hanya sebatas rasa gemesnya saja tanpa aksi. sepakat?
baiklah sudah malam... sudah dulu ya, lagi gemes nih! hehehe :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar