Sabtu, 21 Februari 2015

tidak ada ctrl+z dalam hidup

Banyak orang menyesal karena merasa terlambat berbuat. Banyak orang menyesal karena terlambat berpikir. Pun banyak orang menyesal karena terlambat memperbaiki diri.

Rasa-rasanya, jika waktu bisa kembali, penyesalan tersebut ingin segera ditebus. Andai ada kesempatan kedua. Namun, faktanya, kesempatan kedua hanyalah mitos. Tak pernah ada yang namanya kesempatan kedua dengan situasi dan kondisi yang sama. Juga tak akan pernah waktu bisa diputar kembali ke masa lalu.

Masa lalu hanya meninggalkan kenangan dan pengalaman. Jika kita mengetik sesuatu di dalam microsoft word, kita masih diberikan pilihan undo atau ctrl+z untuk kembali ke sebelumnya, tapi sayangnya tidak ada ctrl+z dalam hidup. There is no ctrl+z in a real life. Jadi, apa yang sudah terjadi dan terlanjur, tak sedikit pun bisa kembali. Kalimat yang sudah terutarakan oleh lisan. Sikap yang sudah terlakoni. Semuanya tinggal menyisakan kenangan dan bekas. Bisa baik bisa buruk.

sumber gambar: dev-live.blogspot.com

Karena tidak ada ctrl+z dalam hidup ini, cobalah lebih berhati-hati dan mawas diri ketika bertindak dalam hidup di dunia ini. Terlebih akhirat adalah keniscayaan dimana hidup berakhir dan tak bisa balik ke dunia. Memilih dan menentukan jalan yang benar semasa di dunia adalah keniscayaan, karena jika tidak, maka risikonya kita akan kesasar dan tersesat. Dan ingat jika tidak memilih jalan hidup itu sekarang, akhirat tidak menyediakan seperangkat teknologi canggih yang bisa mengembalikan kita ke dunia. Tidak bisa undo maupun ctrl+z. Hanya tinggal menerima konsekwensi dari pilihan hidup ketika di dunia.

Mari mengisi hidup dengan benar di jalan yang benar. Jangan sampai menyesal kemudian dan berkata: “andai ada ctrl+z...”

Kamis, 19 Februari 2015

secangkir teh

sumber: forumpriawanita.blogspot.com

secangkir teh,
sebuah rasa santai, lagi damai

secangkir teh,
sesendok gula, membuatnya bernyawa

secangkir teh,
diseruput bersama handai taulan, atau tamu idaman

secangkir teh,
pagi membuat berenergi,

secangkir teh,
siang membuat riang,

secangkir teh,
sore membuat berteriak hore,

secangkir teh,
malam membuat berpikir dalam,

secangkir teh,
setiap jamuan yang disertai olehnya selalu saja memberikan kesan...
obrolan bertambah maknanya karena ada unsur kehangatan di dalamnya...
karena secangkir teh adalah sebuah simbol berkomunikasi yang melibatkan emosi jiwa...

secangkir teh,
menginspirasi, dan memperbaiki komunikasi...

secangkir teh,
paduan daun Camellia sinensis dan senyawa H2O pada suhu 100 derajat celcius :)

Minggu, 15 Februari 2015

terlalu merekat

Tulisan saya kali ini diberi judul “terlalu merekat”. Hehehe bukan mau bicara mengenai hubungan antara perangko dengan amplop ataupun persahabatan dua sahabat karib. Hanya sebuah catatan kecil sebagai pengingat untuk diri sendiri yang sering galau menapaki dunia ini.

Sesuatu disebut merekat jika ada dua komponen. Kombinasinya adalah “siapa merekat pada siapa”; “apa merekat pada apa”, “siapa merekat pada apa”; atau yang terakhir “apa merekat pada siapa”. Salah satu dari dua komponen tersebut mustilah memiliki suatu daya tarik yang menyebabkan salah satunya tertarik, menempel dan akhirnya merekat. Sebagai contoh amplop menarik perekat yang terdapat pada perangko dibantu dengan gaya dari manusia yang menempelkannya. Seorang suami tertarik pada istrinya karena ada daya tarik yang mempesona hingga membuatnya selalu menempel dan merekat dengan sang istri.

Melihat fenomena itu, saya jadi menoleh ke dalam diri. Menyebutkan satu per satu diri ini telah merekat pada siapa saja dan apa saja. Yang berhasil saya sebut, yaitu: ALLAH, orang tua, kakak dan adik kandung, saudara seiman, istri, sepeda motor, pekerjaan dengan jabatannya, uang yang dimiliki, teman-teman yang baik dan perhatian, beberapa prestasi yang dimiliki, beberapa pujian yang masih menempel dalam benak, dan foto-foto kenangan perjalanan hidup. Sementara itu yang berhasil saya ingat. 

Ok, berhenti sejenak. Mari perhatikan sejenak apa yang saya tulis di paragraf atas. Mostly apa dan siapa saja yang saya sebut adalah unsur-unsur yang ada di dalam dunia ini. Sebagaimana kita ketahui bahwa dunia bersifat sementara. Orang tua, kakak, adik, istri, teman akan ada waktunya meninggal. Pekerjaan dan jabatan akan ada masanya copot, uang dan harta lainnya ada waktunya akan lenyap dan tak lagi bernilai, pujian ada kalanya menjerusmuskan pada lembah kenistaan jika tak pandai beristighfar, kenangan hidup meski nyata dan pernah terjadi, tetap saja sebuah hal yang pernah dilewati. Semuanya sementara dan sesuatu yang hanya dititipkan atau dihadirkan di depan muka saya saja untuk sekedar menghiasi perjalanan menuju kampung akhirat sebagai tempat yang kekal.

Yang tersisa adalah ALLAH dan prestasi. ALLAH yang pasti bersifat “kekal”, sedangkan prestasi? Saya meyakini ada prestasi yang sifatnya akan tetap bernilai di sisi ALLAH walaupun jasad sudah tak lagi di dunia, dan ada juga prestasi yang akan luntur, memudar dan hanya diingat manusia setelah meninggal. Prestasi yang akan terus bernilai adalah yang dikerjakan dalam rangka men-dzahir-kan perwujudan islam di muka bumi, misalnya seseorang yang berdakwah untuk mengingatkan manusia pada ketauhidan ALLAH.

Dari hasil perhentian sejenak tersebut, sungguh,,, saya beristigfar. Betapa banyak yang merekat dengan jasad dan jiwa ini adalah hal-hal keduniawian. Yang mana kita semua yang mengaku beriman, yakin akan rukun iman ke-5 akan adanya hari akhir. Dunia hanya sebongkah unsur atau komponen materi yang setiap hari bersinggungan, menempel, merekat dengan kehidupan dan ditujukan sebagai tempat dan media untuk mencari rahmat di dalamnya, untuk beribadah pada penciptanya, untuk menjadi pemakmurnya.

Namun, sayang sekali tak sedikit dari sesiapa yang akhirnya bersinggungan, menempel dan merekat pada dunia ini, jadinya malah terperdaya akan elok dan jelitanya. Keindahannya membius diri untuk mau terus mengejarnya hingga akhirnya muncul istilah “terlalu merekat”. Segala sesuatunya hanya ditujukan untuk duniawi saja. Bekerja untuk mencari kesenangan dunia saja. Naudzubillah.

menara eiffel sebagai salah satu simbol keindahan di dunia. adakah yang lebih baik dari ini di surga kelak? dengan perancang yang tanpa cacat, dan juga yang menciptakan seorang Gustaf Eiffel... (foto dari www.inavyn.org)
 
Wajar saja jika sampai ada yang terlampau merekat, karena memang ALLAH telah membuat dunia ini indah. Sangat indah jika hanya dilihat oleh kedua mata kita, tapi tidak selamanya indah jika mau menyertakan akal dalam melihatnya.

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS: Ali Imran Ayat: 14)

Astaghfirullahal’adzim. Sungguh merugi bagi saya atau sesiapa saja yang terlalu merekat pada unsur-unsur dunia. Keindahannya adalah tipuan belaka. Karenanya, janganlah jadikan kecintaan kita pada unsur-unsur tersebut melebihi kecintaan kita pada ALLAH dan Rasul-Nya. Cinta boleh, merekat boleh, tapi sewajarnya saja. Justru bagaimana caranya unsur-unsur ini menunjang seorang hamba untuk bisa merekat sepenuhnya dan utuh pada ALLAH.

Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.(QS: At-Taubah Ayat: 24)

Ya,,, ALLAH adalah sesuatu yang seharusnya merekat setiap saat. Perwujudan merekat pada ALLAH adalah senantiasa bertakwa pada-Nya. Berada dalam sesuatu yang diridhoi-Nya, yakni dienul islam dan bagaimana memainkan peran, fungsi, dan tugas selaiknya apa yang ditetapkan oleh ALLAH. Itu yang diperbolehkan untuk “terlalu merekat”.

Dari sini, akhirnya saya yang galau ini menjadi tersadarkan bahwa merekat pada apapun selain ALLAH adalah fitrah manusia, tapi yang benar dengan fitrah tersebut adalah bagaimana menjadikannya sebagai media perekat pada yang semestinya direkatkan, yakni ALLAH. Dan saya pun berdo’a, semoga apapun yang saat ini merekat pada diri adalah sebuah proses perekatan yang sewajarnya saja. Bukan yang “terlalu”, tapi tolong semoga saya masih tetap diizinkan dan dibiarkan untuk merekat hanya pada satu hal yang saya yakini, yaitu ALLAH, sampai akhirnya perjalanan hidup saya usai dan tunai. Aamiin :)

terima kasih banyak sudah mau membaca. semoga bermanfaat...

ditulis di depok, 15 februari 2015

Minggu, 08 Februari 2015

ketika penyakit "pemakluman" datang

Sebagai manusia yang dilahirkan dengan anugerah berupa akal dan perasaan, membuat semua orang memiliki banyak hal yang dipikirkan dan direncanakan untuk dilakukannya dalam hidup. Ada yang ingin masuk universitas negeri, ada yang ingin tembus beasiswa luar negeri, ada yang memimpikan menaiki menara eiffel dan menyaksikan keindahan kota paris di atasnya, ada yang ingin naik haji, dan lain sebagainya. Itu semua adalah wajar dan merupakan buah dari potensi akal yang diberikan oleh ALLAH.


Karena potensi ini pulalah maka manusia akan dengan sendirinya dihantarkan ke dalam sebuah perencanaan. Niat yang diinginkannya itu dijabarkan ke dalam tahapan-tahapan tindakan. Ada rencana jangka pendek, rencana jangka menengah dan juga rencana jangka panjang. Yang pasti kesemuanya mengerucut pada sebuah tujuan yang ingin diraihnya.

Tekad, disiplin, semangat, keteguhan dan pantang menyerah adalah modal yang musti disiapkan ketika memiliki impian yang ingin dicapai. Tanpa itu semua, tak jarang perencanaan akan berhenti pada sebuah persimpangan antara lanjut atau berhenti. Saya cukup sering dihadapkan pada hal seperti ini.

Salah satu ciri sebuah perjalanan dalam rangka untuk mencapai suatu hal, adalah akan ditemui rintangan. Mustahil kiranya jika perjalanan itu teramat lancar. Ada yang bilang bahwa jika mimpi yang kita buat tidak sampai membuat kita ketakutan, jangan-jangan mimpi itu tidak cukup besar dan tidak menantang. Artinya, tentu akan ada rintangan untuk setiap mimpi besar yang ingin diwujudkan.

Rintangan yang muncul bisa dari faktor eksternal maupun internal. Kekuatan yang dimiliki oleh sebuah rintangan tak jarang membuat manusia kalah dan berhenti mewujudkan rencananya. Tidak dengan tiba-tiba, tapi berjalan secara bertahap. Jika bisa ditakulkan, maka aman. Tapi jika tidak bisa ditaklukan, maka bahaya mengintai. Bisa jadi tahapan dari rencana kita akan ditinggalkan atau minimal dilanggar. Sekali langgar akan diizinkan oleh akal, kedua kalinya muncul alasan, ketiga kalinya mencari pembenaran, keempat kalinya jadi kebiasaan. Terus dan terus… Semua menjadi sebuah pemakluman. Melanggar menjadi sesuatu yang dimaklumi dan selalu saja ada alasan untuk itu.

Bilamana kondisinya sudah seperti itu, maka jangan heran ketika melihat hasilnya nanti tidak sesuai dengan apa yang diharapkan di awal. Bagaimana mau tercapai jika mental untuk berbelot dari rencana awal sudah sering dilakukan, malah semakin menjauhi rencana.


Pemakluman terhadap sebuah pelanggaran rencana awal, mengindikasikan bahwa niat yang dilakukan belum sepenuhya teruji. Niat tersebut masih menyisakan celah-celah yang masih bisa dimasuki dengan rasa lemah yang ada pada diri. Belum kokoh dan bulat. Karenanya, ketika sudah muncul pemakluman, segeralah untuk balik dan evaluasi. Jangan sampai pemakluman benar-benar menjadi penyebab retak dan pecahnya sebuah tujuan yang ingin dicapai. Identifikasi dan investigasi penyebab pemakluman itu muncul. Jika kendala berupa teknis semisal waktu, kemampuan, jarak, uang, fasilitas, dan lain sebagainya, maka itu masih bisa diupayakan perbaikannya. Namun, yang celaka adalah ketika pemakluman muncul sebagai cara dari jiwa malas kita menunjukkan dirinya.

Contoh saya. Tujuan untuk bisa menulis rutin adalah niat yang sejak awal ditanamkan di tahun 2015. Namun, faktanya di bulan januari saja hanya terbit 1 tulisan. Di mana rutinnya? Selidik punya selidik, ternyata jiwa malas saya yang tengah mengambil komando pada diri. Awalnya adalah sebuah pemakluman akan: pulang kerja sudah capek, waktunya sempit, tidak ada ide, dan lain sebagainya. Tapi ternyata setelah saya pelajari, semuanya berpangkal pada sebuah kemalasan. Dan ini artinya niat saya masih belum utuh. Maka saya identifikasi dan cari tahu penyebabnya. Akhirnya lumayan di februari ini sudah ada perbaikan. Ini adalah tulisan kedua yang saya terbitkan di bulan februari. Alhamdulillah lebib baik dari bulan sebelumnya.

Nah, horor bukan ketika penyakit “maklum” ini bercokol dan menggerogoti rencana indah kita? Karenanya, siapkan perlawanan yang jitu ketika sedang membuat rencana, supaya ketika ia datang, kita sudah punya solusinya. Terakhir sebagai penutup dari tulisan ini, saya berharap semoga semua tujuan mulia kawan-kawan bisa tercapai dengan baik dan lancar, tanpa adanya sebuah pemakluman ketika mulai adanya pelanggaran. Aamiin. Selamat menyusun tujuan dan rencana mulia, dan selamat mempersiapkan pula tindakan apa yang harus dicapai ketika tamu bernama “pemakluman akan sebuah pelanggaran” bertandang pada rencana kita. Semangat!

Bandung, 8 Februari 2015.

Rabu, 04 Februari 2015

tentang umpan balik

Halo semua...

Sudah lama saya tidak menulis yang cukup berbobot dan panjang. Sekalinya sedang terpikir ide, ada saja kendala untuk menuangkannya di dalam blog kesayangan ini, jadinya suka menguap dan lupa. Hehehe alasan dan pemilihan kata yang dibuat-buat untuk memperumit sebuah istilah bernama “malas”.

Nah, mumpung malam ini masih terjaga dan belum tidur, saya langsung cus saja membuka website favorit versi saya, yaitu www.kawancerita.blogspot.com. Hahaha ya iyalah favorit secara isinya adalah hasil telaah dan tuang yang ada dalam benak dan fikir. Berharap ada juga pembaca favorit yang suka diam-diam membaca postingan saya. Hahaha over confidence :p

Ok, cukup dua paragraf saja pembukaannya. Malam ini, setelah pagi membaca kicauan seorang teman tentang direct feedback, dan juga di kantor sedang musim feedback-feedback-an (hahaha bukan berarti feedback bohongan ya), saya jadi ingin membahas mengenai sisi lain sebuah feedback atau dalam bahasa indonesia disebut umpan balik.

Dalam kaca mata saya, sebuah mekanisme bernama umpan balik, adalah sebuah hal yang penting. Cara memberikan umpan balik ini ada 2 macam, yaitu diutarakan secara langsung, dan ada yang tidak langsung. Yang kedua yang saya sebut banyak lagi ragamnya. Bisa via surat terbuka, surat tertutup (pribadi), ocehan di blog, kicauan di twitter, postingan di instagram, tulisan di artikel atau keluhan pelanggan via surel. Hohoho banyak nian. 

Tujuan dari pemberian umpan balik adalah untuk meanggapi dari adanya sebuah rangsangan. Misal seorang A yang bersikap x, akan memberikan efek terhadap B, maka pihak B bisa memberikan tanggapan atas efek yang dirasakan dengan adanya sikap x tersebut kepada pihak A. Gimana jelas kan? Semoga jelas ya, kalau belum jelas, maka saya akan berikan umpan balik lho… Hehehe.

Dengan pemberian umpan balik ini, si penerima akan balik merespon. Respon-nya bisa positif yang artinya menerima, tapi bisa juga negatif, belum mau menerima atau bahkan menolak dan memaki. Bisa jadi lho! Jika umpan balik ini disampaikan tidak langsung, maka efeknya mungkin tidak terlalu berasa, tapi jika umpan balik diutarakan langsung, kita bisa melihat perubahan apa yang terjadi pada si penerima tersebut. Entah senyum, tertawa, marah, angkat alis, tinjuan mendarat di hidung atau justru pelukan yang bersarang penuh kehangatan. Semua masih sangat mungkin terjadi.

Adanya efek tidak menyenangkan dari sebuah mekanisme umpan balik ini, menjadikan banyak orang merasa sulit untuk memberikannya. Khawatir si penerima akan marah, sehingga akhirnya memilih untuk tidak jadi mengutarakan dan membiarkannya mendendam di hati (Naudzubillah). Ada pula yang sebaliknya terlalu berani memberikan umpan balik tanpa memperhatikan perasaan si penerima. Hayo ngaku ada yang beginikah? Kasian lho si penerima bisa sampai tersayat-sayat dan ter-jleb-jleb hati dan perasaannya, apalagi kalau dia masih jomblo. #eh. Hahaha lebay mulai salah fokus.

Seperti kata Rhoma Irama baiknya yang sedang-sedang saja. Sewajarnya dan semenawan mungkin. Berikan umpan balik sesuai dengan yang mampu dan bisa disampaikan. Jangan takut jika yang disampaikan sekiranya benar dan bisa membuat si penerima menjadi lebih baik, dan sebaliknya jangan bersungut-sungut sehingga si penerima justru akan membentuk benteng pertahanan. Yang sedang-sedang saja. Itu rumusnya!

Begini. Saya lihat, sayangnya ada stereotype untuk kultur ketimuran yang melekat di Indonesia. Kesopanan dan kesungkanan masih terjaga kental sehingga hal ini turut mempengaruhi ketakutan seseorang dalam memberikan umpan balik. “Takut menyinggung”. Itu kalimat klise yang acapkali muncul. Tidak dapat disalahkan, tapi apakah bisa dibenarkan juga? Tergantung sudut pandang.

Kembalikan kepada tujuan memberikan umpan balik. Menurut saya, selama umpan balik diniati dengan tulus untuk membuat seseorang menjadi lebih baik, maka menjadi sesuatu yang baik apabila umpan balik itu justru disampaikan, tapi jika akan lebih banyak mudharatnya, baiknya dihindar. Nah, sekarang tetapkan terlebih dahulu, apa niatnya? Jika tulus dan untuk kebaikan, ayo jangan ragu untuk memberikannya :) Kalau ragu, maka informasi yang sampai dari proses umpan balik itu bisa jadi nanggung dan terkesan annoying.

Saya akui bahwa saya pun terkadang masih memilih berhati-hati dalam menyusun kata, takut menyinggung, dan sebisa mungkin isinya bermuatan kedamaian. Haish apa sih? Tapi celakanya, jika yang ingin disampaikan justru dibungkus dengan yang baik-baik saja, bahasa yang terlalu manis dan takut menyinggung, maka informasi penting yang kita targetkan bisa diresapi dan mengena pada si penerima, malah menjadi sebaliknya. Ngambang dan tak terarah. Berbelit-belit tak tahu menuju ke mana.

Mempelajari ini, belakangan ini saya berusaha untuk mencoba bijak dalam memberikan umpan balik kepada orang lain. Saya berkeyakinan bahwa jika ada orang atau pihak yang meminta umpan balik, maka orang tersebut sudah menaruh rasa hormat dan percaya, sehingga ia mengharapkan akan diberikan masukan yang bisa semakin mencemerlangkan dirinya. Berangkat dari keyakinan inilah, maka jika sekiranya ada masukan yang saya pikir itu memang rasional dan prinsipil untuk disampaikan, saya akan menyampaikannya. Urusan perasaan si penerima, saya nomorduakan. Hohoho… 


Saya mencoba untuk mengambil sisi positif dari memberikan umpan balik yang bermanfaat, yaitu jika ternyata apa yang disampaikan benar dan menjadi perbaikan bagi orang lain, maka alangkah senangnya hati bisa menjadi perantara dalam membuat orang semakin baik dan bernilai. Tapi jika ternyata salah, maka itu adalah risiko, saya tidak ragu dan malu jika harus meminta maaf. Manusia gudangnya salah, bro :) cukup mintaa maaf dan evaluasi diri.

Jikapun setelah penyampaian umpan balik ini akhirnya malah meruncing dan menghadirkan konflik, maka sekarang saya sudah punya jawabannya. Saya menilai bahwa sesekali konflik itu diperlukan dan penting. Berkat konflik-lah kita bisa menjadi belajar dan saling menghargai. Dan itu adalah sebuah dinamika. Konflik, laiknya sebuah singgungan dari dua benda, akan menghasilkan gaya gesek. Tapi gaya gesek di sini, tidak selamanya negatif. Jika pada mesin, akan membuat mesin tersebut aus, tapi jika itu terjadi pada biola? Yang dihasilkan justru alunan melodi indah nan merdu. Dan saya tidak mau membuang energi untuk menganggap sebuah gesekan sebagai penyebab ausnya mesin. Tak mau menganggap bahwa konflik selamanya akan mendatangkan perpecahan. 

Jika semua orang akhirnya takut terhadap adanya konflik, maka sistem akan menjadi kacau. Semua akan terlihat serba baik dan bagus. Prinsip “asal bapak senang” akan sangat menjamur dan menjadi nyawa dari sebuah sistem, yang pada giliran berikutnya hanya akan menjadi sebuah kedok. Bisa jadi kondisi sebenarnya justru bobrok, terlihat di dalam terselaputi oleh perasaan dan jiwa-jiwa yang takut berkonflik. Laksana dinamit yang akan meledak dengan hanya menunggu hitungan waktu.


Semoga kita diberikan keluwesan dalam berbijaksana menuturkan umpan balik yang sesuai dan tepat sasaran. Tidak dibungkus topeng, dan juga tidak dikompori emosi. Apa adanya. Aamiin.

Terima kasih sudah mau menyimak, jika ada umpan balik dari tulisan ini, saya dengan senang hati menerimanya untuk bertemu langsung atau mengirimkan komentar di bawah, atau juga bisa ke alamat surel: hadisu_euy@yahoo.com

Selamat malam :)