Rabu, 04 Februari 2015

tentang umpan balik

Halo semua...

Sudah lama saya tidak menulis yang cukup berbobot dan panjang. Sekalinya sedang terpikir ide, ada saja kendala untuk menuangkannya di dalam blog kesayangan ini, jadinya suka menguap dan lupa. Hehehe alasan dan pemilihan kata yang dibuat-buat untuk memperumit sebuah istilah bernama “malas”.

Nah, mumpung malam ini masih terjaga dan belum tidur, saya langsung cus saja membuka website favorit versi saya, yaitu www.kawancerita.blogspot.com. Hahaha ya iyalah favorit secara isinya adalah hasil telaah dan tuang yang ada dalam benak dan fikir. Berharap ada juga pembaca favorit yang suka diam-diam membaca postingan saya. Hahaha over confidence :p

Ok, cukup dua paragraf saja pembukaannya. Malam ini, setelah pagi membaca kicauan seorang teman tentang direct feedback, dan juga di kantor sedang musim feedback-feedback-an (hahaha bukan berarti feedback bohongan ya), saya jadi ingin membahas mengenai sisi lain sebuah feedback atau dalam bahasa indonesia disebut umpan balik.

Dalam kaca mata saya, sebuah mekanisme bernama umpan balik, adalah sebuah hal yang penting. Cara memberikan umpan balik ini ada 2 macam, yaitu diutarakan secara langsung, dan ada yang tidak langsung. Yang kedua yang saya sebut banyak lagi ragamnya. Bisa via surat terbuka, surat tertutup (pribadi), ocehan di blog, kicauan di twitter, postingan di instagram, tulisan di artikel atau keluhan pelanggan via surel. Hohoho banyak nian. 

Tujuan dari pemberian umpan balik adalah untuk meanggapi dari adanya sebuah rangsangan. Misal seorang A yang bersikap x, akan memberikan efek terhadap B, maka pihak B bisa memberikan tanggapan atas efek yang dirasakan dengan adanya sikap x tersebut kepada pihak A. Gimana jelas kan? Semoga jelas ya, kalau belum jelas, maka saya akan berikan umpan balik lho… Hehehe.

Dengan pemberian umpan balik ini, si penerima akan balik merespon. Respon-nya bisa positif yang artinya menerima, tapi bisa juga negatif, belum mau menerima atau bahkan menolak dan memaki. Bisa jadi lho! Jika umpan balik ini disampaikan tidak langsung, maka efeknya mungkin tidak terlalu berasa, tapi jika umpan balik diutarakan langsung, kita bisa melihat perubahan apa yang terjadi pada si penerima tersebut. Entah senyum, tertawa, marah, angkat alis, tinjuan mendarat di hidung atau justru pelukan yang bersarang penuh kehangatan. Semua masih sangat mungkin terjadi.

Adanya efek tidak menyenangkan dari sebuah mekanisme umpan balik ini, menjadikan banyak orang merasa sulit untuk memberikannya. Khawatir si penerima akan marah, sehingga akhirnya memilih untuk tidak jadi mengutarakan dan membiarkannya mendendam di hati (Naudzubillah). Ada pula yang sebaliknya terlalu berani memberikan umpan balik tanpa memperhatikan perasaan si penerima. Hayo ngaku ada yang beginikah? Kasian lho si penerima bisa sampai tersayat-sayat dan ter-jleb-jleb hati dan perasaannya, apalagi kalau dia masih jomblo. #eh. Hahaha lebay mulai salah fokus.

Seperti kata Rhoma Irama baiknya yang sedang-sedang saja. Sewajarnya dan semenawan mungkin. Berikan umpan balik sesuai dengan yang mampu dan bisa disampaikan. Jangan takut jika yang disampaikan sekiranya benar dan bisa membuat si penerima menjadi lebih baik, dan sebaliknya jangan bersungut-sungut sehingga si penerima justru akan membentuk benteng pertahanan. Yang sedang-sedang saja. Itu rumusnya!

Begini. Saya lihat, sayangnya ada stereotype untuk kultur ketimuran yang melekat di Indonesia. Kesopanan dan kesungkanan masih terjaga kental sehingga hal ini turut mempengaruhi ketakutan seseorang dalam memberikan umpan balik. “Takut menyinggung”. Itu kalimat klise yang acapkali muncul. Tidak dapat disalahkan, tapi apakah bisa dibenarkan juga? Tergantung sudut pandang.

Kembalikan kepada tujuan memberikan umpan balik. Menurut saya, selama umpan balik diniati dengan tulus untuk membuat seseorang menjadi lebih baik, maka menjadi sesuatu yang baik apabila umpan balik itu justru disampaikan, tapi jika akan lebih banyak mudharatnya, baiknya dihindar. Nah, sekarang tetapkan terlebih dahulu, apa niatnya? Jika tulus dan untuk kebaikan, ayo jangan ragu untuk memberikannya :) Kalau ragu, maka informasi yang sampai dari proses umpan balik itu bisa jadi nanggung dan terkesan annoying.

Saya akui bahwa saya pun terkadang masih memilih berhati-hati dalam menyusun kata, takut menyinggung, dan sebisa mungkin isinya bermuatan kedamaian. Haish apa sih? Tapi celakanya, jika yang ingin disampaikan justru dibungkus dengan yang baik-baik saja, bahasa yang terlalu manis dan takut menyinggung, maka informasi penting yang kita targetkan bisa diresapi dan mengena pada si penerima, malah menjadi sebaliknya. Ngambang dan tak terarah. Berbelit-belit tak tahu menuju ke mana.

Mempelajari ini, belakangan ini saya berusaha untuk mencoba bijak dalam memberikan umpan balik kepada orang lain. Saya berkeyakinan bahwa jika ada orang atau pihak yang meminta umpan balik, maka orang tersebut sudah menaruh rasa hormat dan percaya, sehingga ia mengharapkan akan diberikan masukan yang bisa semakin mencemerlangkan dirinya. Berangkat dari keyakinan inilah, maka jika sekiranya ada masukan yang saya pikir itu memang rasional dan prinsipil untuk disampaikan, saya akan menyampaikannya. Urusan perasaan si penerima, saya nomorduakan. Hohoho… 


Saya mencoba untuk mengambil sisi positif dari memberikan umpan balik yang bermanfaat, yaitu jika ternyata apa yang disampaikan benar dan menjadi perbaikan bagi orang lain, maka alangkah senangnya hati bisa menjadi perantara dalam membuat orang semakin baik dan bernilai. Tapi jika ternyata salah, maka itu adalah risiko, saya tidak ragu dan malu jika harus meminta maaf. Manusia gudangnya salah, bro :) cukup mintaa maaf dan evaluasi diri.

Jikapun setelah penyampaian umpan balik ini akhirnya malah meruncing dan menghadirkan konflik, maka sekarang saya sudah punya jawabannya. Saya menilai bahwa sesekali konflik itu diperlukan dan penting. Berkat konflik-lah kita bisa menjadi belajar dan saling menghargai. Dan itu adalah sebuah dinamika. Konflik, laiknya sebuah singgungan dari dua benda, akan menghasilkan gaya gesek. Tapi gaya gesek di sini, tidak selamanya negatif. Jika pada mesin, akan membuat mesin tersebut aus, tapi jika itu terjadi pada biola? Yang dihasilkan justru alunan melodi indah nan merdu. Dan saya tidak mau membuang energi untuk menganggap sebuah gesekan sebagai penyebab ausnya mesin. Tak mau menganggap bahwa konflik selamanya akan mendatangkan perpecahan. 

Jika semua orang akhirnya takut terhadap adanya konflik, maka sistem akan menjadi kacau. Semua akan terlihat serba baik dan bagus. Prinsip “asal bapak senang” akan sangat menjamur dan menjadi nyawa dari sebuah sistem, yang pada giliran berikutnya hanya akan menjadi sebuah kedok. Bisa jadi kondisi sebenarnya justru bobrok, terlihat di dalam terselaputi oleh perasaan dan jiwa-jiwa yang takut berkonflik. Laksana dinamit yang akan meledak dengan hanya menunggu hitungan waktu.


Semoga kita diberikan keluwesan dalam berbijaksana menuturkan umpan balik yang sesuai dan tepat sasaran. Tidak dibungkus topeng, dan juga tidak dikompori emosi. Apa adanya. Aamiin.

Terima kasih sudah mau menyimak, jika ada umpan balik dari tulisan ini, saya dengan senang hati menerimanya untuk bertemu langsung atau mengirimkan komentar di bawah, atau juga bisa ke alamat surel: hadisu_euy@yahoo.com

Selamat malam :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar