Sabtu, 22 Agustus 2015

Ternyata "Borneo" Bukan Mitos

Semula saya menganggap nama dan istilah "Borneo" hanyalah sebuah mitos, sampai akhirnya saya bisa menginjakkan kaki pertama di tanah Kalimantan tersebut. Mungkin terlalu berlebihan saya menyebutnya sebagai mitos, tapi jika tahu bagaimana ceritanya, (mungkin) kawan-kawan akan sepakat dengan saya.

Tahun 2011 saya berniat untuk menyapa Borneo bersama teman kuliah dulu. Keinginan itu diperkuat dengan adanya promo dari sebuah maskapai penerbangan yang akan memberangkatkan kami menuju balikpapan dengan harga yang tak wajar. Namun sayang, rencana tersebut akhirnya gagal karena menjelang keberangkatan, kami sama-sama tidak bisa berangkat karena ada agenda pekerjaan lain. Maklumilah karena kami berdua sama-sama karyawan pabrik.

Baiklah, upaya pertama untuk membiarkan kaki ini berdiri di tanah Borneo pun gagal. Tiket juga hangus. Dan nama Borneo, masih sebuah mitos.

Awal semester 2 tahun 2012, rencana berkunjung ke Borneo kembali hinggap dalam benak. Tangan saya seperti digerakkan untuk membuka situs website demi mencari tiket pesawat. Saya cari-cari dan akhirnya pilihan jatuh kepada maskapai plat merah dengan keberangkatan Jakarta - Banjarmasin dan kepulangan Palangkaraya - Jakarta dengan jeda 3 hari. Tiket tersebut memberikan saya harapan untuk bisa berangkat ke Borneo di Maret 2013. Dan kali ini saya akan berangkat sendiri. Tanpa teman, tanpa sahabat, tanpa keluarga.

Sebagai seorang yang menyukai petualangan, saya tidak ragu untuk berangkat sendiri. Walau tempat yang dituju adalah tanah yang benar-benar "asing" dan beda pulau, anehnya justru pikiran semakin bergelora. Saya membayangkan akan berkunjung ke Loksado di Kalimantan Selatan yang terkenal dengan bamboo rafting-nya, pemandangan unik "Pasar Terapung" di Banjarmasin, dan bertolak ke Palangkaraya dengan jalur darat menembus belantara liar. Membayangkannya saja sudah membuat saya berimajinasi dan sedikit menyesal tidak diterima di jurusan "Budidaya Hutan" dulu.

Sebentar... Hapuskan semua imajinasi itu! Sadarlah! Percaya atau tidak, tak dipungkiri sebenarnya ada rasa "khawatir" dalam diri tatkala tersadar harus menembus alam liar Borneo seorang diri tanpa mengenali medan sedikit pun. Saya tak bisa membayangkan akan seperti apa nanti di sana, dan bagaimana mengurus transportasinya. Itulah yang paling dikhawatirkan karena rencana saya dari Banjarmasin ke Palangkaraya akan dilalui dengan jalur darat. Bukan mau meng-underestimate-kan kendaraan darat di sana, tapi nampaknya akan lebih "aman" bila menggunakan mobil non umum. Mobil gagah yang mampu menjelajah jalur darat yang cukup ekstrim semisal Daihatsu Terios. Tapi akhirnya saya tidak memusingkan hal itu. Saya tetap jalani sambil berusaha browsing dan mencari info dari forum-forum backpacker. Toh masih banyak waktu. OK, perlu dicatat bahwa rencana saya ke Borneo saat itu hanya berbekal keyakinan dan seorang teman yang bersedia ditumpangi menginap di Banjarmasin. Itu saja.

Sampai akhirnya hari yang dinanti sudah semakin mendekat. Saat itu saya tengah menjalani masa promosi jabatan di kantor, yang mana banyak sekali tugas yang harus dijalani. Tepat sekali saat itu sedang ada masalah yang perlu diselesaikan, dan karena saya sebagai project leader-nya maka tak bijak jika saya justru tak ada di lokasi. Yap, mengalah karena tuntutan pekerjaan, dan akhirnya resmi untuk kedua kalinya saya membatalkan rencana "gagah" untuk solo travelling ke tanah Borneo. Tuhan masih belum menghendaki saya menengok pulau besar itu.

Baiklah, upaya kedua untuk membiarkan mata ini memandang keindahan tanah Borneo pun gagal (lagi). Tiket juga hangus karena saya tidak terpikir untuk mengurus proses pembatalannya. Dan tentunya nama Borneo, masih sebuah mitos.

Hingga kemudian Tuhan ingin membuktikan kepada saya bahwa Borneo bukanlah mitos. Masih di tahun 2013, akhir semester 1, saya dan juga para staff di kantor mendapatkan surel berisi undangan corporate meeting yang memang diadakan setahun sekali di luar Pulau Jawa. Tahun sebelumnya digelar di Batam, sebelumnya lagi di Bali. Dan tahun 2013 tersebut panitia seolah berkonspirasi untuk membuktikan kepada saya bahwa Borneo memang benar-benar nyata. Pulau 3 negara itu bukanlah dongeng. Ya, tepat sekali corporate meeting tahun tersebut diadakan tanah Borneo, tepatnya Balikpapan! Yeay... Ternyata Borneo benar-benar ada. Bukan hanya mitos atau isapan jempol belaka.

Upaya ketiga kalinya ini mustinya tidak akan gagal lagi. Walau baru akan dilaksanakan 4 bulanan lagi, tapi karena yang mengadakan langsung dari kantor dan semuanya sudah diurus, saya berpikir bahwa tidak ada yang akan menghalangi untuk gagal yang ketiga kalinya, kecuali karena saya sakit atau faktor lain yang mana Tuhan memang belum menghendaki. Dan alhamdulillah benar saja, penantian terbayar juga. Kini saya bisa berlinang madu, memetik buah. Masih ingat moment pertama 24 Oktober 2013, dimana saya setengah tak percaya berhasil menapakkan kedua kaki di tanah Borneo.

Aroma udara di tanah Borneo seketika saya hirup dengan seksama. Sengaja saya melakukan ini hanya untuk memastikan bahwa saya memang sedang tidak di Pulau Jawa. Lho memang ada beda aroma udara Kalimantan dan Jawa? Hehehe. Ada-ada saja. Terlalu norak mungkin, tapi nyatanya saya melakukan itu. Inilah kali pertama saya menginjakkan kaki di tanah Borneo, tepatnya di sebuah kota penghasil minyak bumi terbesar di Indonesia. Ya, saya ada di Balikpapan, Kalimantan Timur yang belakangan ketka menjelajah kotanya saya tersadarkan bahwa betapa bersihnya kota ini. Bersih. Literally

Singkat cerita setelah rapat berlangsung selama 1 hari di Hotel Le Grandeur, Balikpapan, beberapa group kemudian melakukan kegiatan "explore Indonesia" ke tempat-tempat menarik yang lokasinya tidak terlalu jauh dari kota bermaskot beruang madu tersebut. Seperti itulah memang format corporate meeting di kantor saya. Setali dua uang. Selain bekerja, karyawan juga dirangsang berkolaborasi dengan beberapa orang dalam satu group untuk mau menjelajah keindahan Indonesia. Ada yang ke Makassar, Takabonerate, Banjarmasin, dan yang menjadi primadona adalah Pulau Derawan, Kakaban dan Maratua yang terkenal dengan pesona baharinya yang memukau. Selain itu panorama pantai dan laut yang masih asri dan biru turut menjadi alasan banyak orang berkunjung ke sana.

Hotel Le Grandeur, Balikpapan.

Lain halnya dengan saya. Saya memilih wisata yang lebih otentik dan lebih berbau “Borneo”.  Awalnya saya berniat untuk pergi ke Taman Nasional Tanjung Puting tempat konservasi Orang Utan di daerah Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah dan juga Loksado sesuai dengan rencana saya ketika akan solo travelling versi "gagal". Namun, berhubung penjelajahan tidak diperbolehkan sendiri, dan tempat yang saya inginkan tersebut tidak banyak diminati kawan-kawan alias tidak ada yang tertarik, mau tidak mau saya harus ikut group yang lain. Saya memutuskan untuk bergabung dengan group yang akan berwisata ke salah satu tempat yang semoga tidak kalah menarik, yaitu Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Perjalanan Balikpapan – Banjarmasin dengan menggunakan pesawat hanya ditempuh selama 50 menit. Tiket yang tertera pada secarik kertas menunjukkan jam boarding 18:30 WITA. Langit di bandara Sepinggan saat itu sudah cukup gelap. Tapi tak menghalangi pesawat membawa kami semua ke bagian dan dimensi lain Borneo.

Ketika pemberitahuan bahwa pesawat akan tiba di Banjarmasin, saya menempelkan mata ke arah jendela. Belum terlihat apa-apa, hanya sayap pesawat yang sesekali berkerlip merah. Tak lama sebuah kota bertabur cahaya kecil-kecil nampak dengan jelas. Saya terkesima melihat pemandangan indah tersebut, sampai akhirnya deru pesawat bergemuruh disertai dengan sedikit vibrasi roda menyentuh tanah beraspal hotmix. Pesawat telah kembali ke daratan, tapi kali ini daratan tanah Borneo yang lain. Tanahnya orang Banjar. Selamat Datang di Banjarmasin!!! :)

Keluar dari bandara, group saya sudah ditunggu oleh tim yang menjemput dan akan menemani kami semua selama di Banjarmasin dari malam tersebut hingga keesokan harinya. Ya, kami memang hanya 1 hari saja di Banjarmasin dengan agenda utama yaitu wisata kuliner Banjar dan berkunjung ke Pasar Terapung yang cukup fenomenal itu. Hehehe.

Dari bandara malam itu, kami semua langsung menuju sebuah tempat makan untuk mencicip kuliner khas yang katanya cukup hits di Banjarmasin, yaitu lontong orari. Lontong orari ini adalah sejenis lontong yang dihidangkan dengan topping daging dada ayam, ikan haruan (gabus) dan atau telur rebus yang kesemuanya dimasak dengan kuah berbumbu merah. Ketiganya adalah pilihan tergantung pesanan. Jadi kita tidak perlu memesan ketiga topping tersebut bersamaan. Namun, berhubung saya ingin mencicipi semuanya, maka saya pesan 1 porsi lontong orari spesial.

Ketika pesanan datang, mendadak mulut dan perut saya berkonspirasi memberontak. Bukan karena ingin segera mencicip, tapi seolah ingin menyetop hidangan itu tidak masuk semuanya. Bagaimana tidak? 1 porsi lontong orari terdiri dari 2 lenjer lontong lengkap dengan kuah seperti opor ditambah beberapa potong sayur nangka dan sepaket topping lengkap. Lontongnya unik berbentuk segitiga memanjang dimana 1 lenjernya seukuran dengan smart phone berlayar 5 inches. Hehehe. Belum lagi daging dada ayamnya besar sekali terhidang bersama 1 potong ikan haruan yang sama besarnya dengan dada ayam, dan ditambah dengan 1 butir telur. Masya ALLAH. Selapar-laparnya saya saat itu, tetap tak akan habis disantap sendiri. Membayangkannya saja sudah kenyang. Kuah dan bumbunya sungguh menghipnotis lidah. Cukup kaya akan rempah semacam masakan Padang yang orang bilang "berani bumbu". Sedap!

penampakan lontong orari

Keesokan harinya, subuh-subuh kami semua bertolak dari hotel di bilangan Banjar Baru untuk menuju lokasi Pasar Terapung. Dari hotel, mobil bertolak menuju Sungai Martapura. Langit masih terlihat biru kehitaman. Ruas jalan masih cukup sepi dan lengang. Saya membayangkan perbedaannya dengan Jakarta dan Bandung. Jam segitu tentu sudah cukup padat dengan geliat tingkah polah warga. Dari balik jendela mobil, saya mengamati jalan sambil sesekali berkelakar dengan teman yang lain. Akhirnya kami sampai di tepi Sungai Martapura. Sejurus kemudian kami beranjak menuju sebuah kapal yang sudah disewa untuk mengantarkan kami menuju Sungau Kuin yang merupakan sungai kecil penghubung antara Sungai Martapura dan Sungai Barito. Di Sungai Kuin inilah aktivitas Pasar Terapung berada.

Sepanjang perjalanan menyusuri Sungai Kuin terlihat pemandangan berupa rumah-rumah warga di sisi kanan dan kiri. Mereka tinggal di tepi sungai dengan rumah yang terbuat dari kombinasi kayu, bamboo dan triplek. Aktivitas yang bisa dilihat selama perjalanan adalah warga yang mencuci, mandi, atau hanya sekedar duduk di depan pintu sambil melihat beberapa perahu yang lewat. Sesekali kamera handphone saya mengabadikan beberapa objek menarik tersebut.

pemandangan sepanjang menyusuri Sungai Kuin

Sekitar pukul 6 pagi, kami sampai di lokasi Pasar Terapung bersamaan dengan terbitnya sang surya yang elok. Beberapa ibu penjual hasil tani seperti pisang, jeruk, semangka dan jambu air begitu antusias mengejar perahu kami sambil mengayuh dengan semangat. Mereka menjual barang dagangannya bukan dengan sistem kiloan melainkan dalam keranjangan/baskom yang sudah diperkirakan setara dengan sekian kilogram. Begitu otentik!

aktivitas perdagangan yang unik di Pasar Terapung Sungai Kuin

Lelah berwisata di atas perahu selama hampir 2 jam, membuat rasa lapar menyerang. Pak Hasmy, salah seorang anggota group kami yang juga sebagai orang Banjarmasin asli mengajak kami untuk menikmati Soto Banjar Bang Amat. Beruntung porsi soto ini tidak seheboh lontong orari semalam. Tapi perkara rasa, boleh diadu. Soto Banjar ini adalah makanan yang diramu dengan kombinasi lontong, telur, bihun dan ayam kampung yang disiram dengan kuah soto yang khas sekali. Rasanya terlampau sedap untuk dideskripsikan. Tidak terlalu gurih dan terasa segar. Beda sekali dengan soto Banjar yang dijual di Jakarta. Yang ini original dari tanah Banjar. 

penampakan soto Banjar Bang Amat

Pulang dari makan soto, kami kembali ke hotel dan beristirahat menunggu siang sekalian check out dan menuju agenda terakhir sebelum ke bandara, yaitu mencari oleh-oleh. Memang Banjarmasin belum sepenuhnya dijelajah, tapi waktu juga yang memisahkan. Setidaknya kekhasan Pasar Terapung sudah dirasakan, kuliner-kuliner utama sudah dicicip. Terakhir, kami mencari cinderamata di Pasar Martapura. Sarung, kain batik banjar, batu-batu mulia, kaos, hiasan dinding, dan lain sebagainya menjadi barang-barang yang kemudian berpindah tangan ke plastik kami. Pun oleh-oleh berupa makanan seperti abon ikan dan amplang ikan tenggiri, rasanya pas sebagai buah tangan untuk kawan-kawan dan keluarga.

kekayaan batik Borneo

Menjelang maghrib, akhirnya kami semua meninggalkan tanah Borneo. Sungguh sebuah pengalaman menarik melihat dimensi lain dari Indonesia. Terlebih bagi saya yang harus sampai tiga kali percobaan untuk kemudian bisa berhasil menginjakkan kaki di Borneo. Alhamdulillah kesampaian juga. Walau sebetulnya belum sesuai dengan apa yang diinginkan. 

Saya berharap suatu saat bisa ke sana kembali dan mengunjungi dua tempat yang sejak awal saya inginkan, yaitu Loksado dan Taman Nasional Tanjung Puting. Alam yang lebih liar dan menjanjikan keanekaragaman spesies hewan dan tumbuhan ini, seolah sudah menjadi top of mind saya ketika mendengar istilah "Borneo". Petualangan yang mungkin tidak didapatkan di pulau lainnya, menyusuri daratan yang ganas dan terjal dengan kendaraan yang juga harus prima. Membelah belantara hutan sebelum akhirnya menemukan hulu sungai menuju tempat-tempat menarik khas Borneo, mungkin itu semua bisa saya nikmati kembali suatu saat.

Tentunya berharap itu semua bisa dinikmati dengan aman dan nyaman tanpa menghilangkan "unsur penjelajahan dan petualangan" yang identik dengan hutan-hutan Borneo. Salah satu pilihannya adalah dengan Daihatsu Terios. Sebuah kendaraan tangguh yang bisa membantu mewujudkan mimpi-mimpi bertualang di medan yang ekstrim. Seperti tagline-nya "sahabat petualang", Daihatsu Terios bukan berarti hanya cocok untuk bertualang di medan yang esktrim, tapi juga tetap memberikan kesan tangguh ketika melaju di jalan raya.

Daihatsu Terios mengusung konsep SUV yang didisain dengan memiliki fitur Ground Clearance yang tinggi sehingga mampu melalui berbagai kondisi jalan di Indonesia. Mobil ini juga didukung dengan mesin yang powerful dan fitur yang lengkap, membuat sensasi berkendara semakin menyenangkan. Untuk menjelajah medan Borneo yang menantang, varian yang cocok adalah Terios R-Adventure yang memiliki spesifikasi paling tinggi dibandingkan varian R, X-extra apalagi X.

Varian Terios R-Adventure dilengkapi dengan fitur-fitur pelengkap khas sang petualang. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Front Grille, dengan chrome yang lebih sporty dan stylish.
2. Front Bumper Guard with Skid Plate, membuat desain lebih macho dan dinamis.
3. Daytime Running Light, lebih stylish dan sesuai dengan trend otomotif terkini.
4. Spare Wheel Cover with Chrome Ornament, dengan desain baru yang lebih fresh dan sporty.
5. Side Stone Guard (Carbon Pattern), yang tampil semakin sporty dan body semakin terlindungi

Daihatsu Terios R-Adventure

Sebagai penutup, setidaknya perkenalan awal dengan tanah Borneo sudah pernah saya alami. Dan itu adalah perkenalan yang mengesankan. Menikmati wisata kota-kota besar Pulau Borneo yang khas, budaya dan kuliner yang memanjakan alat indra. Terima kasih, Borneo! Semoga suatu saat berjumpa lagi dengan perkenalan yang lebih "liar" ditemani dengan para petualang yang tak kalah hebat. Salah satu petualang tersebut adalah Daihatsu Terios R-Adventure... Aamiin.

bukti follow akun twitter @DaihatsuInd

bukti follow akun twitter @VIVA_log


bukti like fanpage facebook Daihatsu Indonesia


bukti like fanpage facebook VIVAlog


bukti tweet

Tidak ada komentar:

Posting Komentar