Kamis, 16 Januari 2014

menangsilah! lalu temui hal terdalam dalam diri...

Belakangan ini hujan turun dengan begitu deras dan frekuensi yang teramat sering. Bahkan seharian saja bisa berkali-kali. Laksana langit sedang menangis... Sungguh sebuah barokah yang luar biasa dari ALLAH, Robb semesta alam.

Kondisi hujan yang terus-menerus ini kontan membuat Jakarta banjir yang dipadukan dengan kemacetan. Laiknya sebuah paket lengkap!

Demi mendapatkan sebuah pengalaman menarik dari seorang sutradara ternama Indonesia, yaitu Riri Riza, kemarin siang saya tetap bersemangat untuk menembus kota Jakarta melalui perjalanan dari Bogor di tengah kondisi hujan dan banjir tersebut. Riri Riza berkesempatan untuk sharing di kantor Nutrifood Jakarta dengan tema “Passion and Leadership”.

Ada beberapa hal menarik dari hasil sharing siang tadi. 2 di antaranya adalah mengenai idealisme yang dituangkan dalam sebuah tindakan (dalam kasus ini Riri Riza menuangkannya dengan membuat film Atambua390C). Kemudian yang kedua adalah mengenai passion. Passion adalah ketika kita melakukan sesuatu tanpa merasa pamrih (dalam kasus ini, terlihat ketika Riri Riza membuat film laskar pelangi). Karena saking passion-nya dalam berkarya membuat film, dia membuat dengan totalitas tanpa harap penghargaan apapun, tetapi nyatanya film tersebut meledak dan sampai saat ini dinobatkan sebagai film dengan jumlah penonton terbanyak mencapai 4.6 juta penonton. Sebuah pencapaian yang subhanallahu :)
 
Sebetulnya saya tidak terlalu suka menonton film. Pernah saya bahas di tulisan sebelumnya kalau tidak salah. Hehehe. Jikapun ada beberapa film yang saya memang ingin menontonnya, itu karena miliki anggapan bahwa film tersebut bisa memberikan kesan, pengetahuan baru dan inspirasi. Itulah motif saya dalam menonton sebuah film. Harus ada sesuatu nilai tambah, dan bukan hanya sekedar hiburan.

Bicara mengenai perfilman, dalam kurun waktu sebulan ini saya baru saja menonton 3 buah film yang sedang hits, yaitu” 99 cahaya di langit eropa”, “edensor” dan “tenggelamnya kapal van der wijck”. Niat dan motif saya menonton film-film tersebut berbeda-beda. Yang pertama film “99 cahaya di langit eropa“ saya niati nonton karena suka akan sejarah islam, dan menurut saya film ini akan memberikan pengetahuan baru untuk saya, ternyata benar lumayan ilmu bertambah dan bahkan merasa semakin bangga dengan islam.

Berikutnya saya sangat antusias menonton film “edensor” karena sudah lama menunggu pasca menonton film ke-2 laskar pelangi, yaitu sang pemimpi. Terlebih novelnya juga bagus. Namun apa yang didapat? Sedikit kecewa karena filmnya kurang bagus dan datar. Tak mengapa, saya tak mau terllalu repot dan sipusingkan untuk mengkritik masalah seperti itu, karena saya tidak cukup ahli, dan lagi selera film saya sedikit aneh. hahaha...

Dan terakhir yang baru saja saya tonton yaitu “tenggelamnya kapal van der wijck”. Alasan saya menontonnya adalah karena ingin mengetahui cerita sastra zaman dahulu jika difilmkan akan menjadi seperti apa. Dan bagi saya film tersebut bagus, jalan ceritanya menarik. Saya suka dengan beberapa diksi bahasa dan sastra melayunya, juga dengan pemandangan desa batipuh yang ada pada film tersebut.

Ya intinya motif yang mendasari saya menonton film-film tersebut sebetulnya berbeda-beda, tapi entah mengapa ada satu irisan dari ketiga film tersebut untuk saya pribadi. Apakah itu? Sejujurnya saya malu mengatakannya tapi tak mengapa saya pikir untuk diceritakan di sini. Irisan itulah adalah sebuah isak tangis. Saya tak mengerti mengapa saya mudah sekali menangis ketika menyaksikan sesuatu. Entah mungkin karena saya terlalu melankolis atau mungkin saya terlalu melibatkan emosi dalam setiap film yang ditonton. Agak aneh memang, tapi begitulah. Bukan niat diri menolak dilahirkan menjadi seorang melankolis, tapi rasa-rasanya hati ini memang mudah sekali tersentuh, terkesan dan akhirnya menjalar ke kelenjar air mata. 


Mungkin kawan-kawan bertanya-tanya bagian mana dari film-film tersebut yang memang membuat tersentuh dan harus menangis? Hehehe kalau saya ceritakan bisa jadi tak bisa dipercaya. Saya menangis di film “99 cahaya di langit eropa” tatkala Rangga mengumandangkan suara adzan di menara Eiffel. Suara adzan saat itu membuat hati saya bergetar dan air mata mengalir. Saya menangis semakin menjadi-jadi sampai malu ketika menyaksikan film “edensor” karena terbayang dengan teman baik saya yang memang dekat sejak SMA sampai sekarang. Persahabatan sekaligus persaudaraan Arai dan Ikal mengingatkan saya pada teman dekat saya tersebut yang mana kami berdua selalu saling menguatkan dalam perjuangan mengejar cita-cita. Dan terakhir saya menangis ketika menyaksikan bagaimana Zainudin begitu emosi dan menggunakan hatinya dalam berbicara apa adanya kepada Hayati ketika adegan tungku perapian dan di tepi sungai ketika mau berpisah. Bagi saya, ucapannya tersebut berasal dari hati dan berhasil mengobok-obok perasaan saya. Hahaha aneh banget pokoknya alasan-alasannya. Terserah mau disebut lebay juga ah...

Namun, dari situ saya selalu menghargai waktu dan moment yang selalu berhasil membuat saya terkesan. Di tengah film-film tersebut yang bagi kebanyakan orang biasa saja atau bahkan tidak OK, tapi saya selalu berhasil dihadapkan pada satu part yang membuat saya semakin menghargai hidup dan semakin gembira dalam hidup.

Terkadang saya merenung dan bertanya-tanya normalkah saya miliki hati yang lembek seperti ini? Normalkah saya dengan kelenjar air mata yang mudah mensekresikan air mata ini? ada perasaan yang dalam acapkali saya memikirkan ini sampai akhirnya saya sedikit mengerti mengapa saya bisa menangis. Mungkin Karena saya berhasil menemukan sisi spiritual dan emosional dari setiap film yang saya tonton. 

Jadi asumsi saya mengatakan bahwa mengapa suatu moment bisa berkesan pada seseorang, mungkin dikarenakan moment tersebut berhasil masuk dan ter-attached ke sisi paling mendalam dari apa yang ada dalam dirinya. Apakah itu? Kawan-kawan sendiri yang bisa menjawab. Bagi saya pribadi, yang paling mendalam tersebut adalah emosional dan spiritual diri. 

tamat dan tak perlu lagi penjelasan. titik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar