Sabtu, 29 Agustus 2015

cerita "ayah" di rumah sakit

novel "ayah" masih menjadi buku yang saya baca akhir-akhir ini. alhamdulillah tamat juga sore tadi. sebuah novel yang bagus dan memberikan inspirasi dalam hubungan keluarga, persahabatan dan nilai-nilai dalam hidup yang diceritakan dengan latar khas belitong. pemilihan diksi yang menarik, humor yang terkesan "pas sesuai porsi" dan juga beberapa kejutan yang tidak berhasil ditebak.

tapi bukan itu yang akan saya bahas.

pagi tadi saya datang ke rumah sakit lebih awal. sendiri. istri dan mertua tengah di perjalanan menuju rumah sakit yang sama. dan jam 09:30 kami pun bertemu. beruntung tak menunggu lama kami dipanggil dan alhamdulillah sejauh ini posisi bayi bagus menjelang hari H. ada perasaan grogi tatkala dokter untuk pertama kalinya mulai memeriksa dan akhirnya berujar: "sudah bukaan satu".

tenang! semua masih terkendali. dokter menyarankan sang ibu untuk terus aktif bergerak, dan segera ke rumah sakit ketika salah satu dari tiga indikasi berikut terpenuhi: pecah ketuban, keluar darah, mules. alhamdulillah surat pengantar sudah ada di tangan saya juga, hanya kemudian saya berdo'a semoga masa-masa menegangkan datang di saat yang tepat, yaitu ketika saya sedang berada di dekat istri.

selepas pemeriksaan, mertua saya pulang. istri lanjut senam hamil dan untuk pertama kalinya saya menungguinya. sudah ada tujuh pria di koridor tempat para suami menunggu istrinya berlincah ria demi kesehatan bayi. jelas sekali para pria ini memiliki misi serupa dengan saya. seolah sudah disiapkan, hanya tertinggal satu space lagi untuk duduk di sofa, tentunya saya mengambil space tersebut. lumayan sedikit bersantai satu jam.

menarik ketika saya datang, ketujuh "pasukan pria beristri buncit" ini tengah duduk satu baris. apa yang dilakukannya? saling berinteraksi!

wah, diskusi pria-pria bernasib sama. tentu seru dan banyak cerita menarik. bukan begitu?

sayang beribu sayang. nyaris mustahil hal itu terjadi di masa kini. tak ada satu pun suara keluar dari mulut ayah-ayah dan (calon) ayah tersebut. semuanya asyik berinteraksi dengan handphone dan juga tabletnya. duduk dengan jarak hanya sejengkal tangan tapi masing-masing dengan dunianya. entah aplikasi atau game apa yang dibukanya. pun ada yang sedang syahdu mendengarkan lagu yang mengayun menjalar melalui kabel kecil ke telinganya. bosan dengan handphone-nya, pria berbaju biru di sebelah saya lebih dahsyat lagi. ia pulas dan terbawa ke dalam dimensi lain.

lalu saya? alih-alih ingin memotret pemandangan tersebut, saya mengambil "ayah" dari dalam tas. lantas turut larut dalam dunia belitong yang sedang menceritakan kegigihan tamat dan ukun menyusuri sumatera demi mencari marlena dan zorro. ya, saya pun jujur tidak membuka percakapan dengan para pria di sebelah, karena saya lihat memang semuanya tengah fokus dengan gadget-nya. sebuah dilematis.

daripada saya turut menjadi orang kedelapan dan orang yang melihat kami nanti akan bilang generasi gadget holic, saya memilih untuk bercengkrama dengan buku. setidaknya itu hal terbaik yang bisa saya lakukan saat itu.

"ayah"
sampai rumah, saya merasa tulisan saya sebelumnya berjudul "suara-suara yang hilang" kini makin terbukti, dan saya berpikir keras apa yang akan terjadi pada generasi anak-anak mendatang dengan kemajuan teknologi yang lebih mutakhir? mari tunggu saja... saat ini saya baru mampu berpikir bagaimana menjadi ayah idaman yang bisa membimbing anak saya kelak untuk menjadi pribadi yang menawan, semenawan para mukmin, muslim dan mujahid. dan jujur, saya belajar itu sedikit dari "ayah"-nya andrea hirata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar